Kamis, 27 Februari 2014

Globalisasi dan Jalan Pragmatisme

Oleh : Ferdiansyah Rivai,
Mahasiswa Universitas Gadjah Mada


Beberapa waktu yang lalu, Profesor Ekonomi Politik Internasional Harvard University, Dani Rodrik, pernah menulis sebuah artikel yang berjudul Tantangan Baru Pendukung Merkantilisme. Pada tulisan tersebut, ia mengemukakan pembahasan menarik mengenai kemunculan kembali mazhab merkantilisme ekonomi –golongan pendukung sistem yang menuntut peran aktif negara dalam mengakomodir hubungan rakyat dan pasar- di tengah tren globalisasi dan perdagangan bebas berbasis hukum ekonomi pasar seperti saat ini.
Cina kemudian dijadikan alibi. Rodrik menganggap keajaiban ekonomi Cina sebagai produk dari suatu pemerintah yang mendukung, merangsang, dan secara terbuka mensubsidi produsen industri, baik di dalam maupun di luar negeri.


Cina memang contoh paling “fresh” baiknya sinergisitas negara dan pasar yang dapat menjadi alat dalam menciptakan kemakmuran. Cina meraup keuntungan dari pasar bebas dan investasi asing dengan tetap mempertahankan sistem komunisme di tataran politik domestiknya. Dengan jumlah penduduk yang besar -yang berarti juga menandakan luasnya pasar-, dan dibalut dengan kepastian hukum dan nasionalisme yang tinggi, Cina berhasil menaikkan posisi tawar dalam mendatangkan perusahaan-perusahaan asing yang mau patuh pada kebijakan dalam negerinya. Namun, sebelum menggolongkan Cina ke dalam negara yang merkantilis, menarik untuk mempertanyakan, apakah ada negara lain yang menjalankan model ekonomi politik seperti ini?

Jika diperhatikan lebih lanjut, sesungguhnya hampir tidak ada lagi negara maju yang menjalankan ideologi secara kaku. Amerika Serikat sang penyeru liberalisasi ekonomi pun juga begitu. Contoh yang lumrah, ketika tahun 2009 terjadi krisis ekonomi di AS yang mengakibatkan runtuhnya fondasi perusahaan-perusahaan besar, pemerintahan Obama memberikan dana bailout hingga 700 Miliar Dollar. Seharusnya jika AS memang percaya pada Laizzes Faire (Ekonomi Pasar), ia akan membiarkan mekanisme Invisible Handberjalan.

Robert Dahl, Dalam bukunya On Democracy, pernah mendaftar beberapa perilaku ekonomi AS yang dengan sangat gamblang mencerminkan bagaimana tingginya peran negara. Misalkan uang pensiun bagi para lanjut usia, kebijakan fiskal untuk menghindari represi dan inflasi, keamanan makanan, pengobatan, penerbangan, perkeretaapian dan perjalanan, pendidikan, asuransi kesehatan, penjualan saham dan obligasi, penetapan standar-standar pembangunan, serta penetapan tarif dan jatah impor. Sebagai sindiran, Dahl menambahkan dan seterusnya, dan seterusnya.

Kemudian dalam konteks perdagangan internasional, daftar kasus sengketa yang masuk ke dalam Dispute Settlement Body WTO menunjukkan tuduhan pelanggaran regulasi terhadap Cina yang relatif lebih sedikit (31 kasus) bila dibandingkan dengan AS (121 kasus dan terbanyak). Beberapa kasus seperti US-Brazil Orange Juice Anti-Dumping Administrativedan US-Indonesia Clove Cigarettes malah menunjukkan kebijakan AS yang sangat ingin memberi perlindungan terselebung terhadap kepentingan domestiknya. AS seolah berpikir, jalan saja dulu dengan mengedepankan kepentingan nasional, negara bisa mengurus complain belakangan.

Jelas ini merupakan indikasi tingginya peran negara dalam memeperjuangkan kepentingan nasional. Selain karena cerminan peran negara dalam mendistorsi pasar, juga karena menjadi cerminanan pasrtisipasi aktif negara dalam forum internasional yang terkait dengan kepentingan ekonomi domestik.

Fenomena Cina dan AS ini memberi petunjuk bahwa sampai saat ini negara masih bisa berperan besar. Pasar dan negara bisa bersinergi demi tercapainya berbagai kepentingan. Sah-sah saja sebenarnya, karena apapun ideologi tata kelola negara, mutlak semua harus bermuara pada ketenteraman dan kesejahrteraan rakyat. Lalu pertanyaannya, Merkantilisme kah ini? atau Pragmatisme?

Kishore Mahbubani menjawab hal ini dalam The New Asian Hemisphere: The Irresistible Shift of Global Power to East. Ia berpendapat bahwa dunia saat ini sedang berada dalam fase yang teramat kompleks sepanjang sejarahnya. Setiap negara yang menjalani ideologi tertentu secara kaku pasti akan gagal, dan hanya menciptakan bahaya bagi dalam negerinya dan dunia. Pragmatisme adalah “the best guiding spirit” yang banyak diandalkan dalam menjelajahi abad baru ini. Dan hal inilah sebenarnya yang sedang dilakukan oleh Cina dan Amerika Serikat.

Indonesia Di Tengah Arus Globalisasi

Fakta dan pendapat di atas tentu menyiratkan sesuatu bagi Indonesia. Di negeri ini, angin globalisasi sebenarnya sudah berada di hampir setiap sudut rumah. Coba lihat bagaimana senyum sumringah anak-anak muda Indonesia ketika memakai celana jeans yang mereknya berasal dari Eropa, makan fast food di restoran franchise asal AS, serta twitteran pakai ponsel cerdas dari Korea Selatan. Dan jangan lupakan juga bagaimana ekspansi produk perusahaan-perusahaan Indonesia ke mancanegara.

Pemerintah juga telah menandatangani beberapa perjanjian perdagangan bebas, seperti yang tertuang dalam kerangka kerja World Trade Organization (WTO), ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA), ASEAN Economic Community (2015), dan Indonesia-Japan Economic Partnership (IJEPA). Akan tetapi di tengah gempuran ini semua, masyarakat Indonesia masih banyak yang takut terhadap Globalisasi. Lalu penulis berpikir, mengapa kita tidak ikut menempuh jalan pragmatis saja?

Inilah kemudian yang menjadi tantangan terbesar bagi pemerintahan Indonesia selanjutnya. Negara harus setia menemani rakyat dalam pergulatan ekonomi pasar. Negara harus ikut serta berperan aktif melalui pembuatan kebijakan-kebijakan pragmatis, yang dilandasi perjuangan demi kepentingan nasional. Sementara masayarakat dalam artian lebih luas, harus bisa menjadi individu yang hidup di arena pasar bebas secara sadar, dan tidak melupakan negara sendiri-think globally and act locally-.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar