Mahasiswa Universitas Gadjah Mada
Beberapa
waktu yang lalu, Profesor Ekonomi Politik Internasional Harvard University,
Dani Rodrik, pernah menulis sebuah artikel yang berjudul Tantangan Baru Pendukung
Merkantilisme. Pada
tulisan tersebut, ia mengemukakan pembahasan menarik mengenai kemunculan
kembali mazhab merkantilisme ekonomi –golongan pendukung sistem yang menuntut
peran aktif negara dalam mengakomodir hubungan rakyat dan pasar- di tengah tren
globalisasi dan perdagangan bebas berbasis hukum ekonomi pasar seperti saat
ini.
Cina kemudian dijadikan alibi.
Rodrik menganggap keajaiban ekonomi Cina sebagai produk dari suatu pemerintah
yang mendukung, merangsang, dan secara terbuka mensubsidi produsen industri,
baik di dalam maupun di luar negeri.
Cina memang contoh paling “fresh” baiknya sinergisitas negara dan pasar
yang dapat menjadi alat dalam menciptakan kemakmuran. Cina meraup keuntungan
dari pasar bebas dan investasi asing dengan tetap mempertahankan sistem
komunisme di tataran politik domestiknya. Dengan jumlah penduduk yang besar
-yang berarti juga menandakan luasnya pasar-, dan dibalut dengan kepastian
hukum dan nasionalisme yang tinggi, Cina berhasil menaikkan posisi tawar dalam
mendatangkan perusahaan-perusahaan asing yang mau patuh pada kebijakan dalam
negerinya. Namun, sebelum menggolongkan Cina ke dalam negara yang merkantilis,
menarik untuk mempertanyakan, apakah ada negara lain yang menjalankan model
ekonomi politik seperti ini?
Jika diperhatikan lebih lanjut,
sesungguhnya hampir tidak ada lagi negara maju yang menjalankan ideologi secara
kaku. Amerika Serikat sang penyeru liberalisasi ekonomi pun juga begitu. Contoh
yang lumrah, ketika tahun 2009 terjadi krisis ekonomi di AS yang mengakibatkan
runtuhnya fondasi perusahaan-perusahaan besar, pemerintahan Obama memberikan
dana bailout hingga 700 Miliar Dollar. Seharusnya
jika AS memang percaya pada Laizzes
Faire (Ekonomi Pasar), ia
akan membiarkan mekanisme Invisible
Handberjalan.
Robert Dahl, Dalam bukunya On Democracy, pernah mendaftar beberapa perilaku
ekonomi AS yang dengan sangat gamblang mencerminkan bagaimana tingginya peran
negara. Misalkan uang pensiun bagi para lanjut usia, kebijakan fiskal untuk
menghindari represi dan inflasi, keamanan makanan, pengobatan, penerbangan,
perkeretaapian dan perjalanan, pendidikan, asuransi kesehatan, penjualan saham
dan obligasi, penetapan standar-standar pembangunan, serta penetapan tarif dan
jatah impor. Sebagai sindiran, Dahl menambahkan dan seterusnya, dan seterusnya.
Kemudian dalam konteks
perdagangan internasional, daftar kasus sengketa yang masuk ke dalam Dispute Settlement Body WTO menunjukkan tuduhan pelanggaran
regulasi terhadap Cina yang relatif lebih sedikit (31 kasus) bila dibandingkan
dengan AS (121 kasus dan terbanyak). Beberapa kasus seperti US-Brazil Orange Juice Anti-Dumping
Administrativedan US-Indonesia
Clove Cigarettes malah
menunjukkan kebijakan AS yang sangat ingin memberi perlindungan terselebung
terhadap kepentingan domestiknya. AS seolah berpikir, jalan saja dulu dengan
mengedepankan kepentingan nasional, negara bisa mengurus complain belakangan.
Jelas ini merupakan indikasi
tingginya peran negara dalam memeperjuangkan kepentingan nasional. Selain
karena cerminan peran negara dalam mendistorsi pasar, juga karena menjadi
cerminanan pasrtisipasi aktif negara dalam forum internasional yang terkait
dengan kepentingan ekonomi domestik.
Fenomena Cina dan AS ini memberi
petunjuk bahwa sampai saat ini negara masih bisa berperan besar. Pasar dan
negara bisa bersinergi demi tercapainya berbagai kepentingan. Sah-sah saja
sebenarnya, karena apapun ideologi tata kelola negara, mutlak semua harus
bermuara pada ketenteraman dan kesejahrteraan rakyat. Lalu pertanyaannya,
Merkantilisme kah ini? atau Pragmatisme?
Kishore Mahbubani menjawab hal
ini dalam The New Asian
Hemisphere: The Irresistible Shift of Global Power to East. Ia berpendapat
bahwa dunia saat ini sedang berada dalam fase yang teramat kompleks sepanjang
sejarahnya. Setiap negara yang menjalani ideologi tertentu secara kaku pasti
akan gagal, dan hanya menciptakan bahaya bagi dalam negerinya dan dunia.
Pragmatisme adalah “the best guiding spirit” yang banyak diandalkan
dalam menjelajahi abad baru ini. Dan hal inilah sebenarnya yang sedang
dilakukan oleh Cina dan Amerika Serikat.
Indonesia Di Tengah Arus
Globalisasi
Fakta dan pendapat di atas tentu
menyiratkan sesuatu bagi Indonesia. Di negeri ini, angin globalisasi sebenarnya
sudah berada di hampir setiap sudut rumah. Coba lihat bagaimana senyum
sumringah anak-anak muda Indonesia ketika memakai celana jeans yang mereknya
berasal dari Eropa, makan fast
food di restoran franchise asal AS, serta twitteran pakai ponsel cerdas dari Korea
Selatan. Dan jangan lupakan juga bagaimana ekspansi produk
perusahaan-perusahaan Indonesia ke mancanegara.
Pemerintah juga telah menandatangani
beberapa perjanjian perdagangan bebas, seperti yang tertuang dalam kerangka
kerja World Trade Organization (WTO), ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA),
ASEAN Economic Community (2015), dan Indonesia-Japan Economic Partnership
(IJEPA). Akan tetapi di tengah gempuran ini semua, masyarakat Indonesia masih
banyak yang takut terhadap Globalisasi. Lalu penulis berpikir, mengapa kita
tidak ikut menempuh jalan pragmatis saja?
Inilah kemudian yang menjadi
tantangan terbesar bagi pemerintahan Indonesia selanjutnya. Negara harus setia
menemani rakyat dalam pergulatan ekonomi pasar. Negara harus ikut serta
berperan aktif melalui pembuatan kebijakan-kebijakan pragmatis, yang dilandasi
perjuangan demi kepentingan nasional. Sementara masayarakat dalam artian lebih
luas, harus bisa menjadi individu yang hidup di arena pasar bebas secara sadar,
dan tidak melupakan negara sendiri-think globally and act locally-.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar