Sabtu, 23 November 2013

Dunia Tanpa Imajinasi.

Oleh: Irfan Aulia U.
         Penggiat Sekolah Profetik.

Nuun, wal qolami wa maa yasthurun.
  Tulisan ini merupakan salah satu respon positif atas tulisan yang membahas tentang “generasi yang hilang” yang diketengahkan oleh seorang budayawan Indonesia, Radhar Panca Dahana.

  Tak hendak menyanggah terlebih lagi menyalahkan karena semua yang ditulis merupakan suatu kebenaran yang sulit di bantah, generasi X dan generasi Y telah lama berlalu, setidaknya mereka sudah menjadi kakek dan buyut yang sudah terlampau tua untuk memikirkan bangsa Indonesia bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun bahkan beratus-ratus tahun kedepan. Generasi X hidup dari berbagai tekanan, baik itu tekanan social, politik bahkan budaya. Generasi yang hidup pada saat sooeharto memperlihatkan taji kekuasaan dan menerobos panji-panji aturan main yang berlaku (1980). Dan generasi Y atau kira-kira generasi yang hidup pada tahun 1976-1995 merupakan generasi yang akrab dengan radio satelit, televisi multikanal atau dengan kata lain generasi internet pertama di Indonesia.

  Dan sekarang, generasi Z yang sedang tumbuh berkembang dengan pesatnya alur kemajuan teknologi, budaya konsumerisme yang terkadang seperti ultramodernis dalam menyikapi segala sesuatu hal yang baru dan terbarukan. Generasi yang fashionable danwell know serta loyalitas pada merek yang mereka anggap sebagai identitas[1], gaya sahrini dan marshanda dalam berbusana pun tak luput dari penglihatan pemburu fashion a’lamuslimah modern.

Tak terhenti di situ, budaya hiperkonsumerisme terhadap berbagai produk baru dalam dunia teknologi menjadi suatu keharusan zaman yang “katanya” modern, bahkan bagi orang-orang yang tidak mengikutinya disebut sebagai manusia purba, manusia gaptek atau apalah namanya, yang pasti semua bermuara pada satu kata yaitu mendiskreditkan seseorang atas nama modernisasi. Dari mulai youtube, skype, twiter, facebook hingga BBM hampir semua orang mengakses, seolah-olah ada dunia di saku tipis kecilnya. Padahal semuanya hanyalah paradox : bebas meneguhkan atau menciptakan klaim tentang dirinya sendiri tetapi saat bersamaan mereka lenyap dalam riuh[2].

  Inilah generasi sekarang, generasi yang mati, generasi yang hidup dari keping-keping teknologi yang tak lebih besar dari 1x1 meter persegi, generasi yang praktis bahkan layak untuk dikatakan pragmatis, yang menjadikan dunia tak lebih besar dari kotak korek api karena dengan satu sentuhan, dunia terbuka lebar di depannya.

  Melihat fenomena seperti ini, penulis kembali teringat dengan para penulis buku yang selalu mengisi almari kayu, dimana tulisan demi tulisannya bersemayam rapi, mungkin hanya rayap-rayap yang sering menemani ditengah gigitan ganas rayap yang sedang lapar, mereka pun terdiam menunggu seseorang menghampirinya. Penulis-penulis itu seperti choiril anwar, Tan malaka, soe hok gie hingga penulis-penulis luar setingkat freud, max weber, karl mark hingga malcom X dan lain sebagainya.

  Mereka adalah para penulis yang menempatkan imajinasi sebagai titik tolak dari pergumulan sejarah yang sedang berlangsung, mereka adalah orang hebat yang selalu berimajinasi tentang tatanan dunia yang dipikirkannya. Lalu apa yang menjadi imajinasi generasi sekarang tentang masa depan? Apakah masih ada tempat dalam pikiran kita tentang dunia baru? Ataukah kita hanyalah manusia yang menjadikan imajinasi sebagai barang lama yang usang, yang harus sesegera mungkin di buang jauh-jauh dari akal sehat?

  Akhir kata “selamat datang di dunia tanpa imajinasi”.

 Wallahu 'alam bi showab.

[1] Lihat kompas 28 november 2012 hal 6

[2] ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar