Oleh : Hasan Syamsudin
Ketua Bidang Hikmah IMM PC. AR Fahrudin
Nuun, wal qolami wa maa yasthurun.
Pada dasarnya orientasi belajar yang salah seperti halnya “belajar untuk bekerja (Study to get a job) yang mana menjadi orientasi utama dari sebagian mahasiswa saat ini perlu diluruskan dengan orientasi belajar yang benar serta berlandaskan pada kemanfaatan (belajar untuk menjadi orang yang bermanfaat).Permasalahan tersebut tentunya membawa dampak yang besar kepada karakter pribadi maupun kepada lingkungan sekitar atau masyarakat, yang mana kaum terdidik atau mahasiswa telah diberikan sebuah amanah secara langsung untuk mencerdaskan kaum atau golongan yang belum diberikan kesempatan untuk mengenyam pendidikan, serta memperjuangkan kaum yang tertindas (mustadafin) termasuk tertindas oleh sistem didalamnya.Disamping itu permasalahan lain yang muncul ialah gaya hidup mahasiswa yang cenderung hedon serta terjebaknya mahasiswa dalam ruang dialektika teori.
Sosialisme Ahmad Dahlan mengajarkan kepada kaum yang berpendidikan untuk menjadi lentera bagi ruang-ruang gelap disekitarnya, seperti yang dilakukan Ahmad Dahlan melalui pengamalan ilmu yang ia didapatkan, ilmu tanpa amal niscaya ia seperti orang yang kebingungan, yang dimaksud ialah memiliki ilmu tanpa faedah kemanfaatan pada umat secara nyata seperti halnya orang yang sedang kebingungan.Hal yang demikian saat ini benar-benar menjadi hal yang jarang kita temukan pada sisi idealisme atau prinsip mahasiswa dalam menuntut ilmu, yang ada hanyalah orientasi belajar yang terfokus untuk mendapatkan sebuah pekerjaan dan berujung pada runtuhnya kepekaan serta kepedulian sosial sehingga cenderung memunculkan karakter pribadi yang individualistik.
Permasalahan lain yang perlu diperhatikan dan kita kaji secara mendalam ialah gaya hidup mahasiswa yang hedon (terlalu bersenang-senang), hal demikian muncul dikarenakan oleh beberapa faktor salah satunya adalah faktor lingkungan pergaulan yang cenderung menyeret mahasiswa pada ruang-ruang gelap yang kemudian menggugurkan prinsip mahasiswa untuk menuntut ilmu serta untuk menjadi pemikir umat.Hal lain yang menggeser definisi mahasiswa sebagai kaum terdidik ialah terjebaknya mahasiswa dalam ruang-ruang dialektika teori, tidak kurang dari jutaan mahasiswa di Indonesia serta beberapa diantaranya adalah mahasiswa yang lulus dengan predikat membanggakan akan tetapi, sayangya kecerdasan tersebut hanya dimiliki didalam ruang-ruang perkuliahan serta terbatas pada selembar kertas, padahal perubahan serta proses mencerahkan umat tidaklah cukup hanya terbatas pada kecerdasan diatas selembar kertas namun lebih kepada wujud nyata atau aksi nyata mahasiswa, hal demikian terjadi dikarenakan mahasiswa sebagai kaum yang terdidik tidak mempunyai kepekaan terhadap kondisi sosial (refleksi sosial) yang ada disekitarnya, kepada siapa lagi tukang becak kawasan malioboro yang sebagian berasal dari luar Yogyakarta (survey MPM Muhammadiyah) akan menggantungkan nasibnya selain kepada pembuat kebijakan tentang operasional becak tentunya yang menguntungkan bagi mereka? apakah mereka mampu duduk berbincang serta merumuskan kebijakan yang bersifat massal? Kemampuan tersebut hanyalah dimiliki oleh kaum yang berpendidikan tiada lain adalah mahasiswa.
Hasil olah diskusi:
Permasalahan yang ada saat ini bukanlah hanya terbatas pada pola hidup mahasiswa yang cenderung hedonis namun hal-hal lain seperti sikap apatisme, skeptisme, serta terfraksionalisasinya mahasiswa, terlebih lagi dalam gerakan mahasiswa dimana seharusnya titik point dari agenda gerakan mahasiswa adalah mensejahterakan bangsa dari belenggu-belenggu penindasan era saat ini, namun masing-masing dari elemen gerakan mahasiswa dengan membawa unsur ideologinya yang varian (bermacam-macam) lebih cenderung memaknai proses mensejahterakan bangsa sebagai ajang perebutan kekuasaan atas nama ideologi gerakan tidak terfokus pada bagaimana kesejahteraan bangsa dapat tercapai tanpa terjebak dalam ajang pertarungan ideologi yang berlarut-larut sehingga essensi utama dari agenda gerak mahasiswa untuk mensejahterakan bangsa sebagai perwujudan dari agen kepeloporan sosial dapat tercapai.Adapun dinamika gerakan saat ini cenderung lebih mengutamakan dan menonjolkan identitasnya, tidak terfokus pada orientasi ke depan untuk mensejahterakan bangsa.
Hal lain yang perlu dicatat ialah mengenai skeptisme dan apatisme mahasiswa khususnya mahasiswa era saat ini dalam memandang organisasi gerakan.Ketika kedudukan aksi hanya sebatas bagian dari realisasi program kerja maka saat itulah kemandulan dari essensi aksi tersebut terjadi, yang seharusnya aksi adalah bagian dari ungkapan rasa frustasi mahasiswa terhadap kebijakan rezim berubah hanya sebagai hal ceremonial mingguan, bulanan atau bahkan tahunan yang pada akhirnya miskin makna karena hanya sebatas realisasi program kerja dari masing-masing elemen gerakan mahasiswa.
Skeptisme (keragu-raguan) itu benar-benar terjadi di kalangan mahasiswa khususnya dalam menyorot gerakan mahasiswa, disamping faktor internal dari aksi mahasiswa yang tidak jelas dan tidak produktif, faktor eksternalpun juga bermain dalam membentuk citra gerakan mahasiswa sebagai gerakan yang bias atau tidak jelas, diantaranya kontestasi gerakan mahasiswa dengan gerakan alternatif yang muncul secara diaspora seperti komunitas, punk, indie dan lain sebagainya yang mana didominasi oleh kalangan muda, hal tersebut tidak dapat dipungkiri dikarenakan gerakan alternatif lebih jelas dalam melaksanakan agenda geraknya serta cenderung lebih menawarkan kesenangan serta ajang untuk menunjukkan eksistensi sebagai kaum muda era post modern, sedangkan gerakan mahasiswa dengan berbagai kendalanya (aksi yang bias sehingga membentuk citra publik bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan yang bias orientasi bahkan lebih-lebih bias kepentingan atau sarat intrik politik) dianggap sudah ketinggalan jaman.
Di sisi lain ialah adanya pengalihan orientasi pendidikan dari sektor publik ke sektor privat yang menyebabkan gaya hidup hedon serta individualstik terkait dengan orientasi belajar untuk bekerja (study to get a job), dimana dahulu orientasi pendidikan yang tujuannya untuk membangun kesejahteraan bangsa atau bersifat kolektif, saat ini berubah menjadi saya berpendidikan untuk tidak miskin atau bersifat privat, hal inilah yang menjadi faktor mengapa mahasiswa kehilangan atributnya sebagai agen kepeloporan sosial.
Wallahu 'alam bi showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar