M. Hilmy Dzulfadli/pegiat IMM Komisariat FH UMY
Dalam diskursus keislaman, ada idiom yang bernama dosa. Dosa sendiri dimaknai sebagai suatu efek negatif atas perbuatan yang kita lakukan. Mengetahui bahwa ia berdosa dapat menyebabkan seseorang menjadi resah secara psikologis, sehingga memutuskan untuk tidak mengulangi perbuatannya tersebut. Dalam konteks ini, dosa erat kaitannya dengan perbuatan negatif.
Ternyata, idiom dosa tidak hanya terdapat dalam ajaran islam saja. Beberapa agama lain pun memiliki idiom dosa serta ketentuan-ketentuannya. Sebagai contoh, dalam ajaran kristen, dosa memiliki pengertian yang tidak berbeda jauh dengan ajaran islam, yakni efek dari perbuatan negatif yang dilakukan.
Berhubungan dengan dosa, ajaran kristen sebenarnya memiliki ketentuan tertentu. Salahsatunya adalah cara untuk menghapus dosa, atau lebih sering dikenal dengan istilah “tebus dosa”. Dalam ajaran kristen, dosa dapat dihapuskan dengan membayar sejumlah uang.
Berbeda dengan ajaran kristen, islam mengajarkan taubat. Taubat diartikan sebagai kesadaran tidak akan mengulangi perbuatan negatif tersebut, seraya menutupinya dengan perbuatan baik. Dengan demikian, proses taubat dapat dibagi menjadi dua tahapan. Pertama, secara sadar mengakui bahwa perbuatannya salah dan tidak akan mengulanginya. Kemudian kedua, perbuatan negatif (baca: dosa) tersebut ditutupi dengan perbuatan positif. Pendek kata, inilah sistem penebusan dosa dalam islam.
Kemudian, dalam ajaran islam, dosa dibagi menjadi dua jenis: dosa personal dan dosa sosial. Dosa personal adalah dosa yang dilakukan oleh pribadi dan merugikan pribadi saja. Sedangkan dosa sosial, adalah dosa yang dilakukan oleh banyak orang dan tentu saja merugikan banyak orang pula.
Meskipun demikian, dua kategorisasi ini tidaklah baku alias hitam putih. Terkadang, dosa personal dapat menjadi dosa sosial, kerena sejatinya setiap dosa punya dimensi sosial. Sosial disini punya arti luas, tidak hanya hubungan antar manusia saja, namun juga hubungan dengan mahluk lainnya di dunia ini. Sebaliknya, dosa sosial juga dapat disebut sebagai dosa personal, karena dosa sosial terdiri dan dibangun dengan landasan dosa-dosa personal yang bertumpuk.
Salahsatu perbuatan yang sering disalahpahami sebagai dosa personal semata adalah meninggalkan sholat. Padahal dalam Quran, sholat punya dua dimensi, personal dan sosial. Dua tujuan atau cita-cita ini dirangkum dalam kalimat yang menjadi tujuan sholat, yaituTanhaa ‘anil Fahsyaai wal Munkar. Perintah sholat harus mampu membuat pelakunya membebaskan diri dari perilaku keji (Fahsyaai) dan Munkar (Munkar).
Secara etimologis, kata Fahsyaai mempunyai dimensi personal. Artinya, fahsyaai adalah dosa personal. Sedangkan Munkar adalah dosa sosial. Dosa yang banyak dilakukan orang, namun sebagian besar orang lain tidak menyadarinya sebagai sebuah dosa. Realitanya, jenis dosa kedua ini yang sering luput dari perhatian kaum muslimin. Khutbah, pengajian-pengajian, wiridan, dll. seringkali hanya memperhatikan dimensi personal semata.
Pembebasan adalah manifestasi riil dari Islam
Dalam pembahasan diatas, sudah teramat jelas bahwa sholat haruslah dapat menjadi ruh terhadap pemusnahan dosa personal (Fahsyaai) dan dosa sosial (Munkar). Namun dalam tataran praksis, landasan teologis dari sholat harus dimanifestasikan menjadi suatu perbuatan yang rill dan mempunyai semangat progresif. Salahsatu manifestasi riil dari sholat adalah mengupayakan adanya “Gerakan Pembebasan”.
Asghar Ali Engineer, seorang intelektual yang sering dicitrakan sebagai islam kiri, mengidentikkan gerakan pembebasan dengan istilah “Teologi Pembebasan”. Menurutnya, ciri-ciri dari teologi pembebasan ialah pertama, dimulai dengan melihat kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Kedua, teologi ini tidak menginginkan status quo yang melindungi golongan kaya yang berhadapan dengan golongan miskin. Dengan kata lain, teologi pembebasan itu anti kemapanan, baik kemapanan religius maupun politik. Ketiga, teologi pembebasan memainkan peranan dalam membela kelompok yang tertindas dan tercabut hak miliknya, serta memperjuangkan kepentingan kelompok ini dan mempersenjatainya dengan ideologi yang kuat untuk melawan golongan yang menindasnya. Keempat, teologi pembebasan tidak hanya mengakui satu konsep metafisika tentang takdir dalam rentang sejarah umat islam, namun juga mengakui konsep bahwa manusia itu bebas untuk menentukan nasibnya sendiri.
Dengan gamblang Asghar menegaskan bahwa Islam adalah agama yang dekat dengan permasalahan-permasalahan keadilan sosio-ekonomi. Keberpihakan ini dapat dilihat dari se-revolusioner apa sebenarnya ajaran islam. Islam yang turun dari langit, kemudian mendapatkan tempatnya sebagai landasan gerakan bagi orang-orang yang mencita-citakan sebuah perubahan sosial (Social Engineering). Tentu saja, perubahan yang digagas ini adalah perubahan sejati, yang bertujuan untuk membela kaum tertindas(Mustadh’afiin).
Al-Qur’an punya pandangan yang khas dalam masalah ini. Dalam Qur’an, kata kemiskinan dan ketertindasan disebut dengan dua kata yang berbeda namun berasal dari asal kata yang sama, yakni du’afaa dan mustadh’afiin. Dua kata tersebut disebut oleh Qur’an sebanyak 9 kali. Yang pertama lebih merujuk pada “orang yang lemah”, sebagaimana ditegaskan dalam QS. At-Taubah ayat 91. Sedangkan yang kedua, lebih merujuk pada “orang-orang yang dilemahkan”. QS. Al-Anfal ayat 26 adalah contohnya.
Ayat diatas menggariskan dua hal penting berkaitan dengan ciri-ciri mustadh’afiin beserta upaya yang harus dilakukan untuk mengangkat derajat mereka. Pertama, ciri-ciri mustadh’afin adalah mereka yang berada dalam posisi “minoritas”, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Mereka rentan pula terhadap penindasan terstruktur baik oleh kebijakan ekonomi, politik dan sosial. Mereka juga takut untuk melakukan perlawanan kepada penindasnya. Kedua, upaya untuk membela mereka dari ketertindasan itu meliputi: bantuan sosial yang bersifat karitatif seperti memberi papan, sandang dan pemberdayaan sosial.
Realitanya, kini kehadiran kaum miskin dan tertindas (termiskinkan) seperti gelandangan, pengangguran, pengemis dan kaum marginal lainnya menunjukan tidak hanya krisis ekonomi dan politik, namun juga krisis spiritual. Dalam sebuah masyarakat yang terobsesi dengan kekayaan, kekuasaan dan imperatif kesuksesan material, kaum tertindas makin tidak mendapat tempat. Mereka dianggap layaknya sampah yang harus dibersihkan, ditertibkan dan diberi “perlakuan khusus”.
Parahnya lagi, populasi kaum tertindas ini meningkat drastis dalam kurun waktu tiga dekade terakhir. Peningkatan ini merupakan hasil dari kegiatan politik dan ekonomi struktural yang akhir-akhir ini sedang mendapatkan krisis di berbagai belahan dunia. Krisis ini pada akhirnya semakin melanggengkan penindasan dan menyebabkan ketimpangan sosial semakin menyeruak.
Maka dari itu, islam sebagai agama yang mengandung spirit pembebasan (revolusioner) harus makin ditingkatkan intensitasnya, baik dalam tataran teoritis maupun praksis. Karena, hanya dengan perpaduan dua segi ini, penindasan-penindasan yang terjadi akan mendapatkan perlawanan. Pendek kata, Islam akan menjadi anti tesis. Namun perpaduan ini (teori dan praksis) bersifat mutlak. Karena jika tidak, maka akan memunculkan ketimpangan baru, yang juga berfungsi untuk melanggengkan penindasan.
Sudah saatnya Islam dimaknai tidak sebatas makna normatifnya, namun juga makna revolusioner-progresifnya. Karena kalimat thoyyibah sendiri (Laa Ilaha illa Allah) yang menjadi pusat teologi dalam islam terdiri dari dua tahapan yang berurutan, yaitu pertama,kata Laa Ilaha yang bermakna peniadaan atas segala tuhan, benda, kondisi, sistem, dll yang dapat membuat hati dan pikiran manusia lupa akan Tuhannya yang sejati. Dalam konteks ini, sistem neo-kapitalisme, neo-imperialisme, neo-liberalisme, dan neo-neo lain termasuk dalam Ilaha (Sesembahan) yang harus ditiadakan. Kedua, Setelah peniadaan itu berhasil. Barulah kemudian manusia dapat mendampingkan dirinya dengan Allah SWT. Memohon pembelaan, bantuan dan ampunan atas segala hal negatif yang diakibatkan oleh keterbatasan pada diri manusia. Termasuk dalam hal ini, meminta kepada Allah agar memberikan manusia cinta, yakni cinta kepada kemanusiaan, yang sejatinya adalah perwujudan dari rasa cinta kepada-Nya.
Kira-kira inilah Islam yang revolusioner. Islam yang tidak berkompromi dengan dosa-dosa sosial seperti isme-isme yang kian hari, kian menggurita. Menggumpal dan merasuk hingga ke berbagai sendi kehidupan. Merusak harkat dan martabat manusia, merendahkannya ke lubang kenistaan yang azali. Namun, bukan tanpa harapan. Karena percikan api islam dalam gerakan-gerakan revolusionernya adalah, demi mengentaskan dosa-dosa sosial!
Wallahu 'alam bi showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar