Oleh : Yazfi Alam Al-haq (cak Yasfi)
Incunabula Institute.
Sekali lagi aku akan menulis.
Entah ini penting atau tidak, dibalik tubuhku yang sempat terkapar semalam, terhampar sebuah rasa cintaku akan bangsaku, akan kemanusiaan.
Entah bagaimana aku akan memulai, tapi kawan sadarlah. Penjajahan belanda jauh lebih mulia dari pada dijajah bangsa sendiri, beliau bercerita, selama masa penjajahan setiap petani di jogja dibebani pajak dan upeti maksimal 20% dari hasil panen pertahun yang dimana dari upeti itu akan dibagi untuk kerajaan dan kompeni. Dan kalau km tau hari ini, pajak tanah yang dibebankan oleh pemerintah kepada petani paling tinggi sampai 100% panen pertama dan 50% panen kedua pertahun dengan asumsi setahun 3 kali panen. Ya, siapa yang menjajah hari ini?
Belum lagi kawan, 70% masyarakat miskin, kekurangan gizi dan penerima raskin merupakan masyarakat desa. Mungkin secara kasat mata kita akan menganggap bahwa ini hal yang wajar, sebab akses serta ketersediaan infrastruktur modern terbatas di pedesaan. Mengapa hal ini terjadi? Karna perputaran modal yang kecil menurut analisa kaum kapitalis. Namun apa kalian sadar? Merekalah penghasil pangan primer. Para petani berada di desa, bukan di kota. Para petani pangan penerima raskin? Siapa yang gila?
Tahun itu sebelum tahun 70an, Indonesia memiliki 8000 sampai 10.000 jenis sub-varietas beras lokal yang tersebar di seluruh indonesia. Namun hari ini tak lebih dari 25 jenis sub-varietas lokal saja yang tersisa. Yang kemudian yang lain lenyap oleh IR atau BB. Ya ini lah bentuk lain kapitalisme. Dimana revolusi hijau itu ternyata kata lain dari “menjual negara dengan alasan pangan”. Memang swadaya pangan Indonesia mencapai titik puncak pada tahun 80an. Namun dampak lain ternyata sub-varietas baru ini yang diberi oleh IRRI ternyata memang lebih banyak menyerap nutrisi tanah, sehingga pertanian hari ini tergantung akan pupuk-pupuk buatan. Dan anehnya lagi urea ternyata terbuat dari “fuel”. Sehingga semakin lama sub-varietas ini di tanam, semakin habis juga nutrisi tanah kita.
Kemana sisa sub-varietas yang lain? Korban revolusi hijau! Revolusi ini menyebabkan hilangnya varietas lokal yang ramah lingkungan disebabkan homogenisasi jenis varietas tanam padi di seluruh indonesia. Atas alasan swadaya pangan. Atas swadaya padi. Swadaya pangan yang di agung-agungkan zaman orde baru ternyata membutuhkan korban sosial, korban geographi dan juga korban ekonomi serta ekologi yang luar biasa.
Belum lagi atas alasan swadaya pangan juga, menjadikan perubahan pola produksi. Dimana dahulu laki-laki dan perempuan memiliki peran masing-masing dalam proses pertanian, dimana laki-laki berperan penuh dalam hal tanam dan wanita berperan penuh saat panen. Saat swadaya pangan di gulirkan, terjadi perubahan pembagian kerja, dimana laki-laki mendapat peran penuh diseluruh proses pertanian. Perubahan dari budaya inen inen (aku lupa istilah pastinya dari panen ini) berganti menuju budaya arit dalam panen.
Dan apa peran perempuan paska perubahan pola produksi? Ya, menjadi korban kebijakan. Manusia-manusia itulah yang tersingkirkan dari proses produksi, ketika dia tersingkir dari proses produksi. Maka perempuan tak lagi punya nilai tawar dalam kehidupan sosial. Dan ketika itu terjadi, tersingkirlah dia dari peran sosialnya, dan berakhir dengan menjadi pembantu di kota atau TKW di negeri antah berantah. Ya, perempuan selalu menjadi korban kebijakan.
Kemudian dibangunnya 150an waduk dimana 50 waduk merupakan waduk skala besar dan 100 waduk berskala raksasa. Tentu hari ini kita mengenal waduk gajah mungkur dan karang kates. Dua waduk dari bagian kebijakan revolusi hijau, walau pada akhirnya bantuan dari bank dunia di hentikan karna kejadian perlawanan warga. Sehingga menyebabkan digagalkannya pembangunan sebuah waduk. Itu hanya satu di bandingkan 100an lainnya.
Dimana juga harus tenggelamnya ribuan hektar peradaban manusia lainnya, disertai penggusuran warga atas tanahnya, pengorbanan-pengorbanan itulah yang terjadi, lanjut dan terus berlanjut. Selalu menjadi korban kebijakan.
Belum lagi lenyapnya local wisdom dari setiap daerah-daerah tersebut untuk menanggulangi kondisi paceklik. Setiap daerah memiliki trik jitu yang sederhana untuk menanggulangi kelangkaan pangan ketika paceklik. Sehingga kelangkaan pangan bisa di tanggulangi atau di minimalisir.
Atas nama swadaya pangan pula, di baptis lah mereka bangsa sagu di timur, bangsa singkong dan jagung di beberapa wilayah indonesia menjadi bangsa beras. Yang tentu ini akan menjadi beban berat tambahan bagi para petani beras. Dan tentu ketika petani beras lokal kita tak sanggup memenuhi mulut yang menganga, maka hal buruk itu akan terjadi, ya. Kelaparan dan kelangkaan pangan. Sebab bergesernya kesadaran pangan dari masyarakat dari sagu, singkong, dan jagung sebagai makanan pokok, berubah menjadi beras. Sehingga ketika terjadi kelangkaan beras. Maka kemudian tidak bisa serta merta masyarakat kembali kepada kesadaran lama. Dan saat itulah terjadi “krisis pangan”.
Ketika bangsa beras mulai tidak bisa memenuhi kebutuhan beras nya maka import menjadi pilihan rasional bagi pemerintahnya. Dan tentu saja hal ini merugikan petani beras lokal. Dimana harga beras lokal itu lebih mahal di karnakan keterbatasan akses infrastruktur pertanian oleh petani lokal, sehingga menyebabkan harga produksi beras semakin mahal namun hasil produksinya semakin menurun dan jual harga jualnyapun menurun di sebabkan bersaing dengan beras import dari negara surplus beras seperti vietnam dan filipina.
Nah, ketika hasil pertanian tidak lagi sanggup memenuhi kebutuhan kebutuhan primer manusia (pangan, sandang, papan). Maka apa yang terjadi, kaum lelaki harus menyingkir dari proses produksi pertanian. Menjadi tenaga kerja di kota atau menjadi TKI juga di luar negeri. Disebabkan tidak menjanjikan lagi pertanian menjadi tiang penyangga kehidupan, dan sekali lagi kita saksikan. Laki-laki terpaksa menyingkir dari lahan pertaniannya.
Dan ketika kaum laki-laki dan perempuan sudah tersingkir dari lahan pertaniannya, kemudian siapa yang meneruskan produksi pertaniannya. Ya, hanya orang-orang tersisa dari kaum manula dan anak dibawah usia produktif. Dan tentu saja dalam kondisi mereka, produksi pertanian tidak dapat di maksimalkan, dan ketika kondisi mereka semakin renta dan anak-anak semakin dewasa maka lahan pertanian akan di tinggalkan. Sehingga alih fungsi lahan terjadi.
Di beberapa wilayah di jawa, mayoritas perubahan fungsi lahan ialah dari lahan pertanian menjadi lahan perumahan. Hal ini di sebabkan perpindahan masyarakat tani di luar jawa merangsek memasuki jawa. Sehingga jawa semakin padat serta meningkatkan kebutuhan tempat tinggal. Selain itu pula, selain meningkatnya populasi di jawa menjadikan perputaran ekonomi semakin meningkat menjadikan alih fungsi lahan semakin nyata menjadi lahan hunian atau perusahaan dan pertokoan.
Apa yang terjadi di luar jawa? Semakin luasnya lahan sawit dan semakin meningkatnya lahan tersebut. Menjadikan lahan tanam tanaman pangan semakain sempit. Sehingga suplai pangan dari petani lokal pun semakin berkurang. Dan ironisnya lagi mayoritas lahan sawit yang ada di indonesia merupakan milik asing, entah itu china atau malaysia. Memang dalam dunia global hari ini terjadi pertarungan antara energi alternatif melawan ketersediaan pangan.
Namun disisi lain tentu harus kita ketahui bahwa terjadi juga pertarungan antara ketersediaan pangan melawan akses terhadap pangan. Tentu hal ini tidak terjadi begitu saja, namun mungkin akan kita diskusikan di waktu yang lain. Suatu proses pelangkaan pangan oleh imperium modal.
Ya, itulah bangsa kita. Bangsa – bangsa yang terperkosa oleh bangsa beras. Sehingga pangan menjadi komoditas dan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar manusia. Mungkin sejenak bisa kah kita merenung. APAKAH PANGAN MERUPAKAN HAK BAGI SETIAP MANUSIA?
Wallahu 'alam bi showab.
-Diskusi dengan mas Baning (Impulse)-
Lihatlah negeri kita
Yang subur dan kaya raya
Sawah ladang terhampar luas
Samudera biru
Tapi rataplah negeri kita
Yang tinggal hanyalah cerita
Cerita dan cerita, terus cerita…
(Marjinal - Negri Ngeri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar