Sabtu, 16 November 2013

Pendidikan Hukum Sebagai Pendidikan Manusia

 M. Hilmy Dzulfadli

pegiat IMM Komisariat FH UMY



Dalam buku ‘pendidikan hukum sebagai pendidikan manusia’, tertuang gagasan-gagasan besar dari Alm. Prof. Satjipto Rahadjo (Prof. Tjip) sebagai perumus paradigma hukum progresif. Buku tersebut disusun dengan gaya bahasa yang renyah, dengan sistematika yang cukup runtut dan mengalir. Secara garis besar, gagasan Prof. Tjip dapat dirangkum menjadi beberapa bagian; sejarah hukum modern di Indonesia, krisis pada penyelenggaraan hukum Indonesia dan paradigma hukum progresif sebagai solusi alternatif atas krisis yang terjadi.

Sejarah hukum modern di Indonesia
            Sejarah hukum modern di Indonesia dimulai bersamaan dengan datangnya penjajah ke tanah air ini. Seperti yang banyak di bahas dalam buku-buku sejarah, penjajah (pemerintah kolonial Belanda) datang ke Indonesia untuk mencari komoditi ekonomi yang sangat di butuhkan oleh pasar di Belanda dan daratan Eropa pada umumnya. Komoditi ekonomi berupa rempah-rempah dicari demi mengisi sebagai pasokan atas terjadinya kelangkaan di Belanda sana. Maka motif ekonomi dapat di katakan sebagai salahsatu alasan pembenar (raison d’ etre) yang  melandasi praktek kolonialisme di Indonesia.
            Tatanan sosial masyarakat yang telah mapan dengan dilandasi nilai-nilai ketimuran digeser dengan praktek kolonialisme ini. Rakyat indonesia tidak lagi menjadi tuan atas tanah airnya sendiri. Rakyat dipaksa untuk menjadi budak dari penjajah, lagi-lagi untuk memenuhi kebutuhan pasar penjajah. Beberapa kebijakan dari pemerintah kolonial Belanda seperti sistem tanam paksa, pembangunan infrastruktur seperti jalan raya dan rel kereta api mencerminkan betapa terang-benderangnya motif ekonomi tersebut.
            Penindasan yang terjadi dapat dilacak basis sejarahnya bersamaan dengan munculnya kapitalisme berikut seluruh perangkat pendukungnya. Beberapa perangkat pendukungnya adalah sistem negara modern, perusahaan lintas negara (Multi-National Corporations), demokrasi, dll. Kapitalisme sendiri, sebagaimana yang dipahami Marx, selalu dilandasi oleh dua hal yakni penindasan atas sesama manusia dan akumulasi modal (capital).
            Hal ini tentu saja mempengaruhi pelaksanaan hukum di Indonesia. Seperti yang diketahui, sebelum para penjajah datang rakyat Indonesia (Nusantara) tidak mengenal hukum modern yang di dalamnya terdapat pendidikan hukum dan institusi hukum formal. Adapun hukum yang digunakan oleh rakyat pada saat itu adalah hukum adat yang berkelindan dengan hukum islam pada beberapa daerah. Pendidikan hukum modern sendiri dimulai segera setelah di bangunnya sekolah pendidikan tinggi hukum (rechtshogeschool).
            Kebijakan pemerintah kolonial sendiri untuk membangun sekolah pendidikan tinggi hukum tentu saja bukan didasari oleh niat baik—untuk mencerdaskan kehidupan rakyat Indonesia. Akan tetapi, karena para penjajah membutuhkan sumber daya manusia (SDM) untuk mengisi ruang-ruang birokrasi dan administrasi kolonial. Kebutuhan ini diperkuat dengan legitimasi pemerintah kolonial yakni kebijakan politik etis yang dimulai pada awal tahun 1900-an.
            Lebih lanjut, sistem hukum yang di gunakan (sistem hukum modern) tentu saja tidaklah tanpa alasan. Sebagaimana yang diketahui, bahwa sistem hukum modern yang dibawa pemerintah kolonial mengadopsi sistem hukum Civil Law. Sistem hukum Civil Law adalah sistem yang lebih memahami hukum secara normatif, sehingga hukum tidak dipandang mempunyai relevansi logis dengan kenyataan empiris di lapangan. Ciri hukum modern ini lebih menekankan pada rumitnya tahapan birokratis, yang tentu saja tidak dapat di akses secara bebas oleh semua orang. Hanya orang berpunya (the haves) yang dapat mengakses hukum.

Krisis pada penyelenggaraan hukum di Indonesia
            Sampai sini, dapat kita pahami bahwa hukum modern yang diterapkan di Indonesia tidaklah “netral”. Sistem hukum Civil Law jelas mempunyai hubungan dengan Kapitalisme Global dan praktek kolonialisme. Kapitalisme sebagai perwajahan dari salahsatu sifat dasar manusia yakni keserakahan mempunyai tabiat untuk selalu mempertahankan kemapanan (status quo). Dengan kata lain, hukum modern yang ada di Indonesia tidaklah berasal dari social setting rakyatnya. Hukum modern di Indonesia dipaksakan untuk di terapkan (di cangkokkan). 
            Pendapat diatas menjadi lebih kuat apabila dilihat dari optik sejarah dan filsafat. Fakta sejarah yaitu revolusi kaum borjuis di Prancis, revolusi di Inggris dan revolusi intelektual di Jerman (yang pada saat itu masih berada di bawah kekuasaan kerajaan Prusia) mencerminkan beberapa hal. Pertama, revolusi Prancis telah di langsungkan oleh kaum borjuis untuk menggeser kekuasaan dari tangan kaum bangsawan (aristokrat). Kaum aristokrat sendiri telah memancangkan kekuasaannya selam beratus-ratus tahun di Prancis. Segera setelah revolusi, struktur politik di ubah sedemikian rupa (baca: di sesuaikan) demi kemapanan kaum borjuis. Perubahan tersebut mempunyai efek terhadap struktur masyarakat, dimana kaum proletar semakin terpinggirkan. 
            Kedua, perubahan-perubahan secara cepat dan mendasar (revolusi) diatas mempengaruhi sistem hukum yang digunakan. Setelah sebelumnya hukum alam digunakan oleh manusia di Dunia selama beratus-ratus tahun, hukum modern tampil sebagai ‘barang baru’ yang (katanya) membawa keadilan. Namun pengalaman empirik menyatakan fakta sebaliknya. Keadilan yang di cita-citakan oleh hukum modern bak ‘panggang jauh dari api’. Perangkat pembangun hukum modern sendiri ternyata malah mereduksi bahkan menafikan keadilan yang sejati (substancial justice).
            Secara filosofis, hukum modern ditandai dengan dominasi paham rasionalisme di belahan dunia Barat. Rasionalisme sebagai anak sah dari kapitalisme dan modernisme berkutat pada doktrin Rene Descartes yaitu “aku berpikir, maka aku ada” (cogito ergo sum). Doktrin tersebut menjadikan manusia sebagi pusat dari segalanya, termasuk alam semesta. Akal di pahami sebagai realitas tertinggi, sehingga manusia sebagai mahluk yang mempunyai akal menjadi satu-satunya pemegang otoritas penafsir. Dari sini kita lihat bahwa rasionalisme menggeser paham ‘filsafat alam’ yang di dalamnya terdapat pula sistem ‘hukum alam’.
            Lebih lanjut, paham rasionalisme ini melahirkan pula paham yang dinamakan positivisme (positivism). Positivisme adalah paham yang menyatakan bahwa realitas dapat ditaklukan dengan melakukan pendefinisian secara positif yakni melalui akal (ratio). Efeknya, terjadi lah mistifikasi kebenaran. Dimana tidak ada kebenaran diluar ke-aku-an (rasionalisme). Disini kita mencium bau falsafah “egoisme” karena menjadikan kebenaran akal sebagai satu-satunya kebenaran mutlak.
            Efek yang terang-benderang dapat kita analisis pula pada karakteristik positivisme hukum yakni berhukum dengan paradigma ‘hitam-putih’. Hukum direduksi menjadi sesuatu yang tertulis (aturan-aturan). Kemudian, hukum juga di selenggarakan dengan sangat mekanistis. Hal ini menjadi logis, dimana bangunan positivisme hukum haruslah dilandasi dengan bentuk tertulis yang dapat melanggengkan kemapanannya. Meminjam bahasa Jurgen Habermas, rasionalisme dan positivisme menggunakan rasio instrumental sebagai senjatanya.
            Namun, proses ini sangat ‘biasa’ apabila kita melihat sejarah Barat itu sendiri. Sebelum rasionalisme tampil sebagai ‘raja’, Barat di dominasi oleh dogma gereja yang sangat menafikan akal. Pemuka agama (pendeta) di perlakukan sebagai penyampai wahyu Tuhan yang resmi. Begitupun dengan raja-raja, yang menyatakan diri sebagai wakil bahkan jelmaan Tuhan, sehingga titahnya bersifat mutlak. Sejarah mencatat bahwa banyak sekali korban seperti Galileo Galilei, dan ilmuwan-ilmuwan lainnya.
            Social setting seperti itulah yang melandasi munculnya paham rasionalisme dan positivisme. Kondisi ini tentu saja berbeda dengan kondisi Indonesia. Indonesia tidak pernah mengalami trauma sejarah sebagaimana yang di alami oleh Barat. Sejumlah buku sejarah mengungkapkab bahwa hukum adat dan hukum islam bagi manusia Indonesia adalah sistem yang ideal karena sesuai dengan basis sosialnya. Hal ini menyebabkan hukum asli Indonesia mengakar dalam basis sosial dan budaya, sehingga membentuk struktur tersendiri. Sehingga, menjadi tidak bijak apabila basis tersebut dipaksakan untuk diubah.
            Salahsatu yang mengkritik rasionalisme dan positivisme adalah Derrida, seorang filsuf dalam wacana postmodernisme. Dengan menggunakan teorinya yang disebut teori dekonstruksi, ia melakukan pembongkaran atas perangkat-perangkat yang membangun rasionalisme dan positivisme. Menurut Derrida, harus ada upaya kritis untuk melakukan pembongkaran atas universalitas ilmu dan ideologi sosial. Maka, tidak ada klaim kebenaran tunggal, selama hal itu adalah hasil penafsiran melalui rasio (akal budi). Akal tidak dinafikan sebagai alat penafsir realitas, namun akal bukanlah satu-satunya. Masih banyak variabel lain yang dapat di gunakan (bagi kaum muslim ada ‘wahyu’).
            Singkat kata, hukum modern yang dipaksakan untuk di tetapkan di Indonesia bukan tidak menyebabkan krisis. Beberapa krisis itu di akibatkan oleh cara berhukum yang cenderung selalu logis (hitam-putih), mekanistis dan melulu tertulis. Krisis ini menyebabkan struktur sosial budaya manusia Indonesia terguncang, tereduksi aktualisasi dan kualitasnya. Akibatnya, tujuan hukum yaitu menggapai keadilan yang sebenarnya menjadi tidak terlaksana.

Paradigma hukum progresif sebagai solusi alternatif
Meminjam bahasa Habermas, kritik akan bersifat solutif apabila sesuai dengan krisis yang dialami manusia. Dalam karyanya Habermas mengambil contoh kritik yang di kemukakan oleh Karl Marx terasa sangat sesuai karena berhasil menohok pusat krisis yang terjadi pada zamannya. Sebagaimana yang diketahui, pada zaman Marx hidup, kapitalisme belumlah menemukan bentuk sebagaimana saat ini (neo-kapitalisme). Modernisme pun belum secanggih sekarang dimana perkembangan ilmu dan teknologi digolongkan sebagai variabel penentu proses produksi, selain tentunya modal dan tenaga kerja (buruh).
            Lebih lanjut Habermas mengatakan bahwa kritik dapat dimulai dengan cara menganalisis zaman berikut problematikanya. Tentu saja dalam tahapan ini diperlukan pisau analisis yang canggih serta cermat untuk membedah segala sesuatu, termasuk hukum. Menurutnya, hanya dengan cara itulah rasio instrumental yang sangat dominan pada awal masa modern hingga saat ini dapat diganti. Karena diakui atau tidak, rasionalisme dan positivisme sudah tidak sesuai dengan konteks kekinian dan kedisinian serta menyebabkan banyak efek negatif seperti penghancuran kemanusiaan.
            Seolah sepakat dengan Habermas, Prof. Tjip mengusulkan untuk berhukum secara Progresif. Apa dan bagaimana hukum progresif itu? Dalam buku ‘pendidikan hukum sebagai pendidikan manusia’ Ia mengusulkan untuk melakukan revisi atas penyelenggaraan hukum nasional karena didakwa telah menghamba pada kapitalisme gbolal dan bukan pada kemanusiaan. Salahsatu tahapan awalnya adalah melakukan reorientasi pendidikan hukum pada fakultas-fakultas hukum di Indonesia. Karena menurutnya, lulusan fakultas hukum cenderung berpikir legalistik positivistik juga setia pada cara berhukum yang kaku dan birokratis (pro-status quo).
            Keberhasilan Revolusi 17 Agustus 1945 tidak dibarengi dengan perombakan sistem hukum nasional yang terasa asing. Hingga awal 90-an, Prof. Tjip menilai belum ada upaya maksimal yang menuju ke arah sana. Cara pandang positivistik masih saja mendominasi proses berhukum di Indonesia. Warisan pemerintahan kolonial berupa asas hukum beserta diktum-diktum lain yang tidak sesuai dengan semangat manusia Indonesia tetap saja digunakan, seraya tidak menyadarinya sebagai sesuatu yang menyimpang. Juga, lulusan fakultas hukum masih di arahkan bukan untuk menjadi manusia, melainkan mesin penggerak kebutuhan kapitalisme global dengan seperangkat cara menjalankan hukum.
            Paradigma hukum progresif berusaha untuk memberikan terobosan. Seperti arti dari kara progresif yakni ‘kemajuan’atau ‘melampaui’, paradigma hukum ini mencoba untuk menjadikan lulusan pendidikan hukum sebagai agen pembebas, yang lebih mengedepankan nurani dan keadilan daripada hanya teks undang-undang semata. Paradigma hukum progresif lebih cenderung memajukan masalah manusia dan kemanusiaan, seraya tetap tidak menolak unsur lain dalam berhukum seperti peraturan dan budaya hukum. Sehingga akan muncul para pegiat hukum yang mampu berpikir canggih, responsif terhadap perkembangan zaman berikut problemnya, demi tercapainya cita-cita kemerdekaan Indonesia (revolusi 1945).
           Maka salahsatu semangat yang dibangun oleh hukum progresif adalah selain mampu ‘merumuskan hukum’ (making the law), diperlukan juga upaya untuk ‘merobohkan hukum’ apabila tidak sesuai dengan basis sosiologis dan kultural rakyat Indonesia (breaking the law). Disinilah diperlukannya cara berhukum yang ‘tidak biasa’, dengan cara memanfaatkan ilmu-ilmu sosial lain terhadap ilmu hukum (ilmu hukum yang multi-disipliner). Karena hanya dengan cara itulah kompleksitas masalah dapat diurai, dibedah, kemudian dicarikan solusinya.
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar