M. Hilmy Dzulfadli
pegiat IMM Komisariat FH UMY
Dalam buku ‘pendidikan hukum sebagai pendidikan manusia’, tertuang
gagasan-gagasan besar dari Alm. Prof. Satjipto Rahadjo (Prof. Tjip) sebagai
perumus paradigma hukum progresif. Buku tersebut disusun dengan gaya bahasa
yang renyah, dengan sistematika yang cukup runtut dan mengalir. Secara garis
besar, gagasan Prof. Tjip dapat dirangkum menjadi beberapa bagian; sejarah hukum
modern di Indonesia, krisis pada penyelenggaraan hukum Indonesia dan paradigma
hukum progresif sebagai solusi alternatif atas krisis yang terjadi.
Sejarah hukum
modern di Indonesia
Sejarah hukum modern di Indonesia
dimulai bersamaan dengan datangnya penjajah ke tanah air ini. Seperti yang
banyak di bahas dalam buku-buku sejarah, penjajah (pemerintah kolonial Belanda)
datang ke Indonesia untuk mencari komoditi ekonomi yang sangat di butuhkan oleh
pasar di Belanda dan daratan Eropa pada umumnya. Komoditi ekonomi berupa
rempah-rempah dicari demi mengisi sebagai pasokan atas terjadinya kelangkaan di
Belanda sana. Maka motif ekonomi dapat di katakan sebagai salahsatu alasan
pembenar (raison d’ etre) yang
melandasi praktek kolonialisme di Indonesia.
Tatanan sosial masyarakat yang telah
mapan dengan dilandasi nilai-nilai ketimuran digeser dengan praktek
kolonialisme ini. Rakyat indonesia tidak lagi menjadi tuan atas tanah airnya
sendiri. Rakyat dipaksa untuk menjadi budak dari penjajah, lagi-lagi untuk
memenuhi kebutuhan pasar penjajah. Beberapa kebijakan dari pemerintah kolonial
Belanda seperti sistem tanam paksa, pembangunan infrastruktur seperti jalan
raya dan rel kereta api mencerminkan betapa terang-benderangnya motif ekonomi
tersebut.
Penindasan yang terjadi dapat
dilacak basis sejarahnya bersamaan dengan munculnya kapitalisme berikut seluruh
perangkat pendukungnya. Beberapa perangkat pendukungnya adalah sistem negara
modern, perusahaan lintas negara (Multi-National Corporations),
demokrasi, dll. Kapitalisme sendiri, sebagaimana yang dipahami Marx, selalu
dilandasi oleh dua hal yakni penindasan atas sesama manusia dan akumulasi modal
(capital).
Hal ini tentu saja mempengaruhi
pelaksanaan hukum di Indonesia. Seperti yang diketahui, sebelum para penjajah
datang rakyat Indonesia (Nusantara) tidak mengenal hukum modern yang di
dalamnya terdapat pendidikan hukum dan institusi hukum formal. Adapun hukum
yang digunakan oleh rakyat pada saat itu adalah hukum adat yang berkelindan
dengan hukum islam pada beberapa daerah. Pendidikan hukum modern sendiri
dimulai segera setelah di bangunnya sekolah pendidikan tinggi hukum (rechtshogeschool).
Kebijakan pemerintah kolonial
sendiri untuk membangun sekolah pendidikan tinggi hukum tentu saja bukan
didasari oleh niat baik—untuk mencerdaskan kehidupan rakyat Indonesia. Akan
tetapi, karena para penjajah membutuhkan sumber daya manusia (SDM) untuk
mengisi ruang-ruang birokrasi dan administrasi kolonial. Kebutuhan ini
diperkuat dengan legitimasi pemerintah kolonial yakni kebijakan politik etis
yang dimulai pada awal tahun 1900-an.
Lebih lanjut, sistem hukum yang di
gunakan (sistem hukum modern) tentu saja tidaklah tanpa alasan. Sebagaimana
yang diketahui, bahwa sistem hukum modern yang dibawa pemerintah kolonial
mengadopsi sistem hukum Civil Law. Sistem hukum Civil Law adalah sistem yang lebih memahami
hukum secara normatif, sehingga hukum tidak dipandang mempunyai relevansi logis
dengan kenyataan empiris di lapangan. Ciri hukum modern ini lebih menekankan
pada rumitnya tahapan birokratis, yang tentu saja tidak dapat di akses secara bebas
oleh semua orang. Hanya orang berpunya (the haves) yang dapat mengakses
hukum.
Krisis
pada penyelenggaraan hukum di Indonesia
Sampai sini, dapat kita pahami bahwa hukum modern yang
diterapkan di Indonesia tidaklah “netral”. Sistem hukum Civil Law jelas
mempunyai hubungan dengan Kapitalisme Global dan praktek kolonialisme.
Kapitalisme sebagai perwajahan dari salahsatu sifat dasar manusia yakni
keserakahan mempunyai tabiat untuk selalu mempertahankan kemapanan (status
quo). Dengan kata lain, hukum modern yang ada di Indonesia tidaklah berasal
dari social setting rakyatnya. Hukum modern di Indonesia dipaksakan
untuk di terapkan (di cangkokkan).
Pendapat diatas menjadi lebih kuat
apabila dilihat dari optik sejarah dan filsafat. Fakta sejarah yaitu revolusi
kaum borjuis di Prancis, revolusi di Inggris dan revolusi intelektual di Jerman
(yang pada saat itu masih berada di bawah kekuasaan kerajaan Prusia)
mencerminkan beberapa hal. Pertama, revolusi Prancis telah di langsungkan oleh
kaum borjuis untuk menggeser kekuasaan dari tangan kaum bangsawan (aristokrat).
Kaum aristokrat sendiri telah memancangkan kekuasaannya selam beratus-ratus
tahun di Prancis. Segera setelah revolusi, struktur politik di ubah sedemikian
rupa (baca: di sesuaikan) demi kemapanan kaum borjuis. Perubahan tersebut
mempunyai efek terhadap struktur masyarakat, dimana kaum proletar semakin
terpinggirkan.
Kedua, perubahan-perubahan secara
cepat dan mendasar (revolusi) diatas mempengaruhi sistem hukum yang digunakan.
Setelah sebelumnya hukum alam digunakan oleh manusia di Dunia selama
beratus-ratus tahun, hukum modern tampil sebagai ‘barang baru’ yang (katanya)
membawa keadilan. Namun pengalaman empirik menyatakan fakta sebaliknya.
Keadilan yang di cita-citakan oleh hukum modern bak ‘panggang jauh dari api’.
Perangkat pembangun hukum modern sendiri ternyata malah mereduksi bahkan menafikan
keadilan yang sejati (substancial justice).
Secara filosofis, hukum modern
ditandai dengan dominasi paham rasionalisme di belahan dunia Barat. Rasionalisme
sebagai anak sah dari kapitalisme dan modernisme berkutat pada doktrin Rene
Descartes yaitu “aku berpikir, maka aku ada” (cogito ergo sum). Doktrin
tersebut menjadikan manusia sebagi pusat dari segalanya, termasuk alam semesta.
Akal di pahami sebagai realitas tertinggi, sehingga manusia sebagai mahluk yang
mempunyai akal menjadi satu-satunya pemegang otoritas penafsir. Dari sini kita
lihat bahwa rasionalisme menggeser paham ‘filsafat alam’ yang di dalamnya
terdapat pula sistem ‘hukum alam’.
Lebih lanjut, paham rasionalisme ini
melahirkan pula paham yang dinamakan positivisme (positivism).
Positivisme adalah paham yang menyatakan bahwa realitas dapat ditaklukan dengan
melakukan pendefinisian secara positif yakni melalui akal (ratio).
Efeknya, terjadi lah mistifikasi kebenaran. Dimana tidak ada kebenaran diluar
ke-aku-an (rasionalisme). Disini kita mencium bau falsafah “egoisme” karena
menjadikan kebenaran akal sebagai satu-satunya kebenaran mutlak.
Efek yang terang-benderang dapat
kita analisis pula pada karakteristik positivisme hukum yakni berhukum dengan
paradigma ‘hitam-putih’. Hukum direduksi menjadi sesuatu yang tertulis
(aturan-aturan). Kemudian, hukum juga di selenggarakan dengan sangat
mekanistis. Hal ini menjadi logis, dimana bangunan positivisme hukum haruslah
dilandasi dengan bentuk tertulis yang dapat melanggengkan kemapanannya.
Meminjam bahasa Jurgen Habermas, rasionalisme dan positivisme menggunakan rasio
instrumental sebagai senjatanya.
Namun, proses ini sangat ‘biasa’
apabila kita melihat sejarah Barat itu sendiri. Sebelum rasionalisme tampil
sebagai ‘raja’, Barat di dominasi oleh dogma gereja yang sangat menafikan akal.
Pemuka agama (pendeta) di perlakukan sebagai penyampai wahyu Tuhan yang resmi.
Begitupun dengan raja-raja, yang menyatakan diri sebagai wakil bahkan jelmaan
Tuhan, sehingga titahnya bersifat mutlak. Sejarah mencatat bahwa banyak sekali
korban seperti Galileo Galilei, dan ilmuwan-ilmuwan lainnya.
Social setting seperti itulah yang
melandasi munculnya paham rasionalisme dan positivisme. Kondisi ini tentu saja
berbeda dengan kondisi Indonesia. Indonesia tidak pernah mengalami trauma
sejarah sebagaimana yang di alami oleh Barat. Sejumlah buku sejarah
mengungkapkab bahwa hukum adat dan hukum islam bagi manusia Indonesia adalah
sistem yang ideal karena sesuai dengan basis sosialnya. Hal ini menyebabkan
hukum asli Indonesia mengakar dalam basis sosial dan budaya, sehingga membentuk
struktur tersendiri. Sehingga, menjadi tidak bijak apabila basis tersebut
dipaksakan untuk diubah.
Salahsatu yang mengkritik
rasionalisme dan positivisme adalah Derrida, seorang filsuf dalam wacana
postmodernisme. Dengan menggunakan teorinya yang disebut teori dekonstruksi, ia
melakukan pembongkaran atas perangkat-perangkat yang membangun rasionalisme dan
positivisme. Menurut Derrida, harus ada upaya kritis untuk melakukan
pembongkaran atas universalitas ilmu dan ideologi sosial. Maka, tidak ada klaim
kebenaran tunggal, selama hal itu adalah hasil penafsiran melalui rasio (akal
budi). Akal tidak dinafikan sebagai alat penafsir realitas, namun akal bukanlah
satu-satunya. Masih banyak variabel lain yang dapat di gunakan (bagi kaum
muslim ada ‘wahyu’).
Singkat kata, hukum modern yang
dipaksakan untuk di tetapkan di Indonesia bukan tidak menyebabkan krisis.
Beberapa krisis itu di akibatkan oleh cara berhukum yang cenderung selalu logis
(hitam-putih), mekanistis dan melulu tertulis. Krisis ini menyebabkan struktur
sosial budaya manusia Indonesia terguncang, tereduksi aktualisasi dan
kualitasnya. Akibatnya, tujuan hukum yaitu menggapai keadilan yang sebenarnya
menjadi tidak terlaksana.
Paradigma
hukum progresif sebagai solusi alternatif
Meminjam bahasa Habermas, kritik akan bersifat solutif apabila sesuai
dengan krisis yang dialami manusia. Dalam karyanya Habermas mengambil contoh
kritik yang di kemukakan oleh Karl Marx terasa sangat sesuai karena berhasil
menohok pusat krisis yang terjadi pada zamannya. Sebagaimana yang diketahui,
pada zaman Marx hidup, kapitalisme belumlah menemukan bentuk sebagaimana saat
ini (neo-kapitalisme). Modernisme pun belum secanggih sekarang dimana
perkembangan ilmu dan teknologi digolongkan sebagai variabel penentu proses
produksi, selain tentunya modal dan tenaga kerja (buruh).
Lebih lanjut Habermas mengatakan
bahwa kritik dapat dimulai dengan cara menganalisis zaman berikut problematikanya.
Tentu saja dalam tahapan ini diperlukan pisau analisis yang canggih serta
cermat untuk membedah segala sesuatu, termasuk hukum. Menurutnya, hanya dengan
cara itulah rasio instrumental yang sangat dominan pada awal masa modern hingga
saat ini dapat diganti. Karena diakui atau tidak, rasionalisme dan positivisme
sudah tidak sesuai dengan konteks kekinian dan kedisinian serta menyebabkan
banyak efek negatif seperti penghancuran kemanusiaan.
Seolah sepakat dengan Habermas,
Prof. Tjip mengusulkan untuk berhukum secara Progresif. Apa dan bagaimana hukum
progresif itu? Dalam buku ‘pendidikan hukum sebagai pendidikan manusia’ Ia
mengusulkan untuk melakukan revisi atas penyelenggaraan hukum nasional karena
didakwa telah menghamba pada kapitalisme gbolal dan bukan pada kemanusiaan.
Salahsatu tahapan awalnya adalah melakukan reorientasi pendidikan hukum pada
fakultas-fakultas hukum di Indonesia. Karena menurutnya, lulusan fakultas hukum
cenderung berpikir legalistik positivistik juga setia pada cara berhukum yang
kaku dan birokratis (pro-status quo).
Keberhasilan Revolusi 17 Agustus
1945 tidak dibarengi dengan perombakan sistem hukum nasional yang terasa asing.
Hingga awal 90-an, Prof. Tjip menilai belum ada upaya maksimal yang menuju ke
arah sana. Cara pandang positivistik masih saja mendominasi proses berhukum di
Indonesia. Warisan pemerintahan kolonial berupa asas hukum beserta
diktum-diktum lain yang tidak sesuai dengan semangat manusia Indonesia tetap
saja digunakan, seraya tidak menyadarinya sebagai sesuatu yang menyimpang.
Juga, lulusan fakultas hukum masih di arahkan bukan untuk menjadi manusia,
melainkan mesin penggerak kebutuhan kapitalisme global dengan seperangkat cara
menjalankan hukum.
Paradigma hukum progresif berusaha
untuk memberikan terobosan. Seperti arti dari kara progresif yakni ‘kemajuan’atau
‘melampaui’, paradigma hukum ini mencoba untuk menjadikan lulusan pendidikan
hukum sebagai agen pembebas, yang lebih mengedepankan nurani dan keadilan
daripada hanya teks undang-undang semata. Paradigma hukum progresif lebih
cenderung memajukan masalah manusia dan kemanusiaan, seraya tetap tidak menolak
unsur lain dalam berhukum seperti peraturan dan budaya hukum. Sehingga akan
muncul para pegiat hukum yang mampu berpikir canggih, responsif terhadap
perkembangan zaman berikut problemnya, demi tercapainya cita-cita kemerdekaan
Indonesia (revolusi 1945).
Maka salahsatu semangat yang dibangun
oleh hukum progresif adalah selain mampu ‘merumuskan hukum’ (making the law),
diperlukan juga upaya untuk ‘merobohkan hukum’ apabila tidak sesuai dengan
basis sosiologis dan kultural rakyat Indonesia (breaking the law). Disinilah
diperlukannya cara berhukum yang ‘tidak biasa’, dengan cara memanfaatkan ilmu-ilmu
sosial lain terhadap ilmu hukum (ilmu hukum yang multi-disipliner). Karena
hanya dengan cara itulah kompleksitas masalah dapat diurai, dibedah, kemudian
dicarikan solusinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar