Nuun, wal qolami wa maa yasthurun.
Kembali lagi pada zaman itu, saya rasa tidak akan ada manusia di bumi pertiwi ini lupa. 350 tahun hidup dalam cengkraman belanda. Kaum pribumi tak lebih dari kerbau yang sedang membajak sawah yang pada akhirnya seluruh hasil keringat serta hasil bumi di angkut kesebuah negara yang kita sebut belanda.
Apa itu yang disebut penjajahan? Sebuah negara datang kemudian menginjakkan kaki, menodong senjata dan menginjak-injak harkat dan martabat sebuah bangsa? Mungkin banyak dari kita menganggap inilah sebuah penjajahan. Namun kita lupa sebenarnya belanda atau VOC? Atau belanda sebagai negara atau rakyat belanda yang menanam modal dalam negara antah berantah dengan modal yang murah? Yang mana penjajahan sebenarnya?
Mari kita tilik sejenak sejarah bangsa kita, 350 tahun di jajah belanda. Apakah benar-benar belanda? Pemerintah belanda yang saat itu mampu menumpas dan merebut tanah indonesia dari kerajaan-kerajaan indonesia. Seusai dengan keputusan parlemen belanda pada tahun 1602, maka VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) mendapatkan hak monopoli perdagangan di nusantara. Apa yang kita temukan? Legalisasi monopoli modal oleh pemerintah belanda yang saat itu menguasai tanah nusantara kepada sebuah perusahaan yang bernama VOC.
VOC yang saat itu bisa kita sebut sebagai Transnsional corporation dalam istilah kekinian, tentu memanfaatkan keleluasaan monopoli atas perdagangan rempah-rempah dan sangat meikmatinya. Dan tentu azaz kapitalisme di tegakkan dengan baik oleh VOC yaitu eksploitasi, ekspansi dan akumulasi. Dan apa yang kita fahami kawan? INDONESIA DIJAJAH BELANDA, INDONESIA DI PERAS BELANDA. Apakah belanda yang menjajah atau belanda “hanya” melegitimasi adanya imperium modal berdiri diatas tanah nusantara? Dan ini kita sebut penjajahan. Dan bagaimana dengan pemerintah yang memberi legitimasi kepada Freeport, Exxon, chevron, monsanto, danone dan jutaan perusahaan asing lainnya? Apakah ini bukan “penjajahan”?
Paska bubarnya VOC karna terjadi korupsi besar-besaran dan terjadi mismenejen pada tahun 1798. Nusantara jatuh ketangan inggris (saya tak tahu pasti mengapa, namun mungkin ini ada hubungannya dengan perang berkepanjangan antara pihak inggris dan prancis, dan indonesia merupakan konsekuensi dari peperangan tersebut.) .yang pada akhirnya dikembalikan kepada belanda pada tahun 1816 sesuai dengan yang tertulis pada undang-undang pemerintahan kerajaan belanda tahun 1814.
Pada tahun 1830, kebijakan tanam paksa mulai dilaksanakan. Dimana setiap petani memiliki kewajiban untuk menanam tanaman yang diwajibkan oleh pemeritah belanda. sekali lagi, apakah pemerintah belanda. Ternyata bukan, ternyata lagi-lagi kebijakan ini di berlakukan pemerintah belanda untuk memaksimalkan produksi dari perusahaan-perusahaan belanda yang dimana saat itu perekonomian belanda sedang kacau balau karna peperangan. Maka kebijakan peningkatan produksi ini menjadi penting untuk menjaga stabilitas perekonomian belanda saat itu.
Pernahkah kita berkaca hari ini, dimana pemerintah melegitimasi kehadiran monsanto yang memiliki kebijakan “tanam paksa” jagung di wilayah bojonegoro dan wilayah-wilayah indonesia lain? Pernahkan teman-teman ingat tanah-tanah di sumatra yang menjadi korban “tanam paksa” kelapa sawit yang untungnya kan dibawa ke malaysia dan china. Dan ini mendapat persetujuan dari pemerintah atas nama pertumbuhan ekonomi. Pernahkan teman-teman bertanya apa bedanya tanam paksa zaman belanda dan investasi sawit hari ini?
Kemudian paska tahun 1901, belanda menerapkan politik etis, politik balas budi terhadap bangsa indonesia yang menurut mereka saat itu, indonesia telah banyak berkontribusi terhadap kemajuan belanda dengan “pemerasan” yang mereka lakukan.
Namun apakah kita sadar untuk apa pemerintah melakukan kebijakan politik etis? Pernahkan kawan-kawan dengan indonesia menjadi penghasil gula terbesar pada tahun 1930an? Ya itulah jawabannya. Politik etis dan industri gula. Politik etis memiliki 3 elemen yaitu, pendidikan, irigasi dan migrasi. Kebijakan pendidikan dilakukan agar industri gula tidak lagi harus membawa orang belanda untuk mengoprasikan produksi di pabrik-pabrik gula, melainkan pribumi yang tentu saja gajinya jauh lebih murah dibandingkan orang belanda.
Dan tentu pendidikan itu bukan pendidikan yang memerdekakan anak didiknya, melainkan hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan sumberdaya manusia untuk industri gula. Irigasi pun tak lain untuk mengaliri kebun-kebun tebu yang dimana kebun tebu tersebut merupakan hasil dari sewa lahan yang mencekik pemilik lahan dan hanya untuk memenuhi kebutuhan produksi gula. Dan migrasi lagi-lagi hanya untuk memperluas perkebunan tebu. Dan hebatnya lagi saat itu industri gula bukan merupakan perusahaan milik pemerintah belanda, namun milik pribadi.
Dan kita liat hari ini, pendidikan yang kita dapatkan apakah benar-benar membebaskan manusia dari belenggu kebodohan? Ataukah hanya untuk mencukupi kebutuhan sumberdaya manusia dalam proses produksi? Dan juga semakin larisnya lembaga pendidikan yang berorientasi kerja bukan karya. Dan juga konsep bantuan sosial yang diberikan oleh perusahaan menjadi kan seolah-olah bahwa perusahaan menjadi suatu hal yang suci, yang dimana dosanya telah luruh dengan melakukan bantuan sosial di sebuah kecil dari negeri ini. Dosa atas penghisapan dan pemerasan terhadap seluruh elemen di atas bumi indonesia ini? Hari ini yang kita alami, apakah bukan sebuah penjajahan?
Hari ini, apakah beda pemerintah kita dengan pemerintah kerajaan belanda yang mengobral indonesia kepada VOC. Bukankah pemerintah kita juga mengobral bumi ini kepada “voc-VOC” yang bernama exxon, Freeport dan banyak lagi lainnya? Apakah negeri ini tidak seperti pemerintah belanda yang menerapkan yang menerapkan politik etis untuk memenuhi kebutuhan produksi gula? Lihat para pemuda kita yang “dipanen muda” oleh pemerintah melalui program SMK. Liat kebijakan pemerintah kita yang menyebabkan jauhnya akses kesejahteraan bagi masyarakatnya, yang memaksa rakyatnya untuk menjadi budak dinegeri sendiri dan membuat sebagian lainnya menaikkan rok nya tinggi-tinggi sekedar memenuhi kebutuhan dasar hidupnya?
Pernah kah kita pikirkan kawan, apakah kita hari ini tidak sedang dijajah belanda berwarna sawo matang?
Wallahu 'alam bi showab.
Apa itu yang disebut penjajahan? Sebuah negara datang kemudian menginjakkan kaki, menodong senjata dan menginjak-injak harkat dan martabat sebuah bangsa? Mungkin banyak dari kita menganggap inilah sebuah penjajahan. Namun kita lupa sebenarnya belanda atau VOC? Atau belanda sebagai negara atau rakyat belanda yang menanam modal dalam negara antah berantah dengan modal yang murah? Yang mana penjajahan sebenarnya?
Mari kita tilik sejenak sejarah bangsa kita, 350 tahun di jajah belanda. Apakah benar-benar belanda? Pemerintah belanda yang saat itu mampu menumpas dan merebut tanah indonesia dari kerajaan-kerajaan indonesia. Seusai dengan keputusan parlemen belanda pada tahun 1602, maka VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) mendapatkan hak monopoli perdagangan di nusantara. Apa yang kita temukan? Legalisasi monopoli modal oleh pemerintah belanda yang saat itu menguasai tanah nusantara kepada sebuah perusahaan yang bernama VOC.
VOC yang saat itu bisa kita sebut sebagai Transnsional corporation dalam istilah kekinian, tentu memanfaatkan keleluasaan monopoli atas perdagangan rempah-rempah dan sangat meikmatinya. Dan tentu azaz kapitalisme di tegakkan dengan baik oleh VOC yaitu eksploitasi, ekspansi dan akumulasi. Dan apa yang kita fahami kawan? INDONESIA DIJAJAH BELANDA, INDONESIA DI PERAS BELANDA. Apakah belanda yang menjajah atau belanda “hanya” melegitimasi adanya imperium modal berdiri diatas tanah nusantara? Dan ini kita sebut penjajahan. Dan bagaimana dengan pemerintah yang memberi legitimasi kepada Freeport, Exxon, chevron, monsanto, danone dan jutaan perusahaan asing lainnya? Apakah ini bukan “penjajahan”?
Paska bubarnya VOC karna terjadi korupsi besar-besaran dan terjadi mismenejen pada tahun 1798. Nusantara jatuh ketangan inggris (saya tak tahu pasti mengapa, namun mungkin ini ada hubungannya dengan perang berkepanjangan antara pihak inggris dan prancis, dan indonesia merupakan konsekuensi dari peperangan tersebut.) .yang pada akhirnya dikembalikan kepada belanda pada tahun 1816 sesuai dengan yang tertulis pada undang-undang pemerintahan kerajaan belanda tahun 1814.
Pada tahun 1830, kebijakan tanam paksa mulai dilaksanakan. Dimana setiap petani memiliki kewajiban untuk menanam tanaman yang diwajibkan oleh pemeritah belanda. sekali lagi, apakah pemerintah belanda. Ternyata bukan, ternyata lagi-lagi kebijakan ini di berlakukan pemerintah belanda untuk memaksimalkan produksi dari perusahaan-perusahaan belanda yang dimana saat itu perekonomian belanda sedang kacau balau karna peperangan. Maka kebijakan peningkatan produksi ini menjadi penting untuk menjaga stabilitas perekonomian belanda saat itu.
Pernahkah kita berkaca hari ini, dimana pemerintah melegitimasi kehadiran monsanto yang memiliki kebijakan “tanam paksa” jagung di wilayah bojonegoro dan wilayah-wilayah indonesia lain? Pernahkan teman-teman ingat tanah-tanah di sumatra yang menjadi korban “tanam paksa” kelapa sawit yang untungnya kan dibawa ke malaysia dan china. Dan ini mendapat persetujuan dari pemerintah atas nama pertumbuhan ekonomi. Pernahkan teman-teman bertanya apa bedanya tanam paksa zaman belanda dan investasi sawit hari ini?
Kemudian paska tahun 1901, belanda menerapkan politik etis, politik balas budi terhadap bangsa indonesia yang menurut mereka saat itu, indonesia telah banyak berkontribusi terhadap kemajuan belanda dengan “pemerasan” yang mereka lakukan.
Namun apakah kita sadar untuk apa pemerintah melakukan kebijakan politik etis? Pernahkan kawan-kawan dengan indonesia menjadi penghasil gula terbesar pada tahun 1930an? Ya itulah jawabannya. Politik etis dan industri gula. Politik etis memiliki 3 elemen yaitu, pendidikan, irigasi dan migrasi. Kebijakan pendidikan dilakukan agar industri gula tidak lagi harus membawa orang belanda untuk mengoprasikan produksi di pabrik-pabrik gula, melainkan pribumi yang tentu saja gajinya jauh lebih murah dibandingkan orang belanda.
Dan tentu pendidikan itu bukan pendidikan yang memerdekakan anak didiknya, melainkan hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan sumberdaya manusia untuk industri gula. Irigasi pun tak lain untuk mengaliri kebun-kebun tebu yang dimana kebun tebu tersebut merupakan hasil dari sewa lahan yang mencekik pemilik lahan dan hanya untuk memenuhi kebutuhan produksi gula. Dan migrasi lagi-lagi hanya untuk memperluas perkebunan tebu. Dan hebatnya lagi saat itu industri gula bukan merupakan perusahaan milik pemerintah belanda, namun milik pribadi.
Dan kita liat hari ini, pendidikan yang kita dapatkan apakah benar-benar membebaskan manusia dari belenggu kebodohan? Ataukah hanya untuk mencukupi kebutuhan sumberdaya manusia dalam proses produksi? Dan juga semakin larisnya lembaga pendidikan yang berorientasi kerja bukan karya. Dan juga konsep bantuan sosial yang diberikan oleh perusahaan menjadi kan seolah-olah bahwa perusahaan menjadi suatu hal yang suci, yang dimana dosanya telah luruh dengan melakukan bantuan sosial di sebuah kecil dari negeri ini. Dosa atas penghisapan dan pemerasan terhadap seluruh elemen di atas bumi indonesia ini? Hari ini yang kita alami, apakah bukan sebuah penjajahan?
Hari ini, apakah beda pemerintah kita dengan pemerintah kerajaan belanda yang mengobral indonesia kepada VOC. Bukankah pemerintah kita juga mengobral bumi ini kepada “voc-VOC” yang bernama exxon, Freeport dan banyak lagi lainnya? Apakah negeri ini tidak seperti pemerintah belanda yang menerapkan yang menerapkan politik etis untuk memenuhi kebutuhan produksi gula? Lihat para pemuda kita yang “dipanen muda” oleh pemerintah melalui program SMK. Liat kebijakan pemerintah kita yang menyebabkan jauhnya akses kesejahteraan bagi masyarakatnya, yang memaksa rakyatnya untuk menjadi budak dinegeri sendiri dan membuat sebagian lainnya menaikkan rok nya tinggi-tinggi sekedar memenuhi kebutuhan dasar hidupnya?
Pernah kah kita pikirkan kawan, apakah kita hari ini tidak sedang dijajah belanda berwarna sawo matang?
Wallahu 'alam bi showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar