Oleh : Hasan Syamsudin
Ketua Bidang Hikmah IMM PC. AR Fahrudin
Nuun, wal qolami wa maa yasthurun.
Indonesia merupakan negara demokrasi dengan corak masyarakat yang majemuk. Kemajemukan masyarakat tersebut tentu merupakan suatu khazanah unik yang merupakan aset kebanggaan bangsa, namun sejalan dengan hal tersebut corak kemajemukan masyarakat Indonesia ternyata sejalan dengan macam masalah yang dihadapinya. Salah satu permasalahan bangsa yang menjadi langganan dari hari ke hari adalah permasalahan korupsi. Korupsi yang secara harfiah dietitian sebagai perilaku perorangan atau kelompok dengan memanfaatkan otoritas kekuasaanya untuk memperkaya diri sendiri ternyata hampir dapat ditemui di berbagai institusi di Indonesia. Tidak hanya terjadi di Instansi birokrasi namun juga terjadi di instansi non birokrasi. Permasalahan yang menjamur tersebut tentu haruslah disikapi dengan langkah nyata berupa tindakan tegas dari aparatur penegak hukum. Berkaitan dengan hal tersebut, sangatlah jelas apabila perangkat hukum harus dijalankan sesuai dengan amanah undang-undang yang berlaku sehingga tindak pidana korupsi dapat diminimalisir.
Dalam suasana alam demokrasi, upaya penegakan hukum termasuk dalam bagian dari kinerja lembaga Yudikatif, dalam hal ini adalah pengadilan tipikor atau tindak pidana korupsi. Konsep trias politika yang terdiri dari lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif memang mutlak adanya dalam alam demokrasi, namun ketiga lembaga tersebut tidaklah dapat berperan secara maksimal tanpa adanya jaminan kebebasan bagi warga negaranya untuk menyatakan pendapat, tentu jaminan tersebut tidak lain bertujuan guna menciptakan iklim masyarakat yang harmonis. Jaminan berupa kebebasan menyatakan pendapat tersebut akan memberikan kontribusi positif bagi keberlangsungan hidup masyarakat demokrasi, beberapa diantaranya adalah berfungsi sebagai monitoring toolsalat pengawas terhadap professionalisme kinerja birokrasi.
Terkait dengan fungsi monitoring atau pengawasan, selama ini hal tersebut telah dilakukan oleh lembaga pers independent baik media massa cetak maupun elektronik. Dalam hal ini stasiun televisi sebagai salah satu media massa seringkali memberitakan hal ihwal seputar kritik terhadap kinerja birokrasi bahkan non birokrasi yang tidak maksimal. Pasca orde baru, fenomena suburnya media massa menjadi tonggak awal bagi pers Indonesia untuk terus memantau kinerja pemerintahan yang tidak professional agar menjalankan kinerjanya sesuai dengan amanah undang-undang. Euphoria kebebasan pers pasca orde baru di awal lima tahun dapat dikatakan konsisten dalam memantau kinerja birokrasi, disebabkan orientasi media massa masih terpusat pada tanggung jawab sosialnya yaitu memberikan informasi yang sebanyak-banyaknya dan sefaktual mungkin bagi masyarakat Indonesia, hal tersebut tentu tidak lepas dari faktor yang melatarbelakanginya yaitu traumatik pembungkaman kebebasan menyatakan pendapat oleh rezim Soeharto, namun saat ini tugas mulia pers tersebut mulai memudar disebabkan oleh adanya kepentingan politik dari beberapa media yang kemudian mengalihkan fungsi overseeing goverment atau mengawasi kinerja pemerintah menjadi fungsi kampanye aktor dan partai politik tertentu. Di beberapa media massa elektronik misalnya, dapat kita lihat secara gamblang kampanye partai politik yang telah mencuristart, hal tersebut terjadi karena perselingkuhan manis antara politisi dengan korporat media atau karena politisi yang sekaligus menjabat sebagai pemilik media.
Berangkat dari fenomena diatas dapatlah dianalisis bahwa fungsi utama media massa sebagai agen pencerah masyarakat dan pemantau birokrat serta birokrasi telah terinfiltasi oleh motif-motif kepentingan politik, adapun dampak dari hal tersebut telah mengakibatkan hadirnya informasi di kalangan publik yang bersifat provokatif selain lemahnya fungsi pengawasan. Munculnya hal tersebut tidak lain disebabkan oleh bergesernya orientasi media massa dari pengawasan birokrat serta birokrasi menjadi ajang kontes politik aras nasional. Dampak secara nyata yang dapat dilihat saat ini adalah tidak objektifnya pemberitaan kasus korupsi di beberapa lembaga pemerintahan disebabkan keteribatan pemilik media massa atau mass media owner yang juga sebagai aktor politik. Hal tersebut memberikan indikasi bahwa bahwa media massa telah kehilangan fungsinya.
Dengan melihat pergeseran orientasi tersebut maka harapan yang semula dipupuk semenjak masa pra orde baru mulai memudar, harapan mengenai peran dan fungsi media terlebih media massa yang seharusnya menjadi pengawas birokrat dan birokrasi saat ini tidak lebih hanya sekedar menjadi ajang kontestasi aktor dan partai politik tertentu. Terkait dengan hal tersebut, hadirnya media baru dalam hal ini adalah media sosial setidaknya memberikan celah harapan ditengah keputusasaan yang melanda. Semangat perubahan dari stagnasi peran dan fungsi media massa mulai tumbuh di benak masyarakat, seperti halnya harapan lembaga pers nasional pra orde baru yang mendengungkan spirit kebebasan untuk bersuara melalui media massa. Harapan tersebut mulai tersemai dalam melihat peran serta fungsi media sosial saat ini.
Pemanfaatan media sosial sebagai ruang untuk saling berinteraksi menjadi potensi yang besar untuk menggantikan fungsi media massa sebagai pengawas kinerja birokrat dan birokrasi yang unworking atau tidak bekerja. Memang kepemilikan akun media sosial baik twiter maupun facebook tidak sewajar dan sebanyak kepemilikan pesawat televisi, terlebih masyarakat desa dan golongan tua hingga lanjut usia, namun perkembangan kepemilikan akun facebook dan twiter yang begitu pesat hampir dikatakan menjadi televisi kedua bagi masyarakat global termasuk masyarakat Indonesia. Jika pada awal mulanya pemantauan kinerja birokrat serta birokrasi dilakukan oleh media massa elektronik seperti stasiun televisi maka saat ini tidak ada salahnya jika pemantauan kinerja tersebut dilakukan melalui media sosial. Hal-hal seputar kinerja birokrasi dapat di informasikan melalui pemanfaatan media sosial, terlebih media sosial memiliki sisi interaktivitas yang tinggi dibanding dengan pesawat televisi. Harapan untuk mengawasi kinerja birokrat serta birokrasi dari penyelewengan otoritas tidaklah salah jika dimulai dari pemanfaatan media sosial, tentu keterlibatan peran akademisi serta wadah yang menaunginya sangat dibutuhkan agar informasi yang disajikan adalah informasi yang faktual dan ilmiah. Mari dengan semangat reformasi birokrasi dari wabah korupsi kita manfaatkan media sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar