Sabtu, 07 Desember 2013

Rezim Guttenberg dan Revolusi Ide-Ide Rendahan.

Oleh : Ayub (Ayub El-Marhoum)
         Eks SekDir Sekolah IMMawati.

“Eh, saya suka baca tulisanmu Yub”
“Kak, aku suka lo baca blognya kakak”
“saya senang lo mas, baca status-statusmu”

Meski saya tidak pernah merasa diri penulis, walau saya sangat segan untuk sekedar bermimpi bisa punya buku sendiri, tapi demi mendengar ucapan semacam itu yang kadang dilontarkan spontan di tempat-tempat tak diduga oleh orang-orang yang tak tertebak…, saya seperti telah membaca testimony pembaca di sampul bagian dalam buku karya saya.


Hum, yah pola pikirku memang masih pola pikir seorang yang gemar menulis dalam era ketika “rezim Guttenberg” masih berjaya dan sanggup berdiri angkuh mendikte ide-ide. Jika saja aku dilahirkan di era pra-Guttenberg, maka yang diperlukan adalah berbotol-botol tinta dan segepok kertas impor dari Cina atau Baghdad. Keduanya mungkin bias didapatkan di pasar, dibayar dengan beberapa koin emas, perak, atau bahkan hanya ditukar dengan sekeranjang ubi jalar. Setelahnya, semua ide-ide bebas kusebrangkan ke alam ini melalui kertas, menunggu seseorang membacanya lalu mempertemukannya dengan ide-ide lain miliknya. Ide-ide itu akan saling menyapa, bertransaksi, bercinta atau berkelahi.

Apapun yang ide-ide itu lakukan, hasilnya mutlak sama ; akan lahir ide-ide baru yang mungkin akan disebrangkan oleh orang itu ke kertas. Semua ide baru adalah special dan keren. Tidak ada seorang pun yang punya otoritas untuk menganggap sebuah ide tidak layak disebrangkan ke kertas untuk bias bertemu ide-ide lain di alam pikir pembacanya. Tapi yah… itu hanya ada pada zaman ketika rezim Guttenberg serta tentakel gurita berbentuk jarring laba-laba ia bangun belum ada. Kini, ada orang-orang yang merasa berhak menyortir ide-ide, membuang sebagian ke tempat sampah, sedangkan yang lain didandani sedemikian rupa lalu disebrangkan ke kertas. Ide nan beruntung itu akan dipromosikan gencar di pasar-pasar. Ia tidak bisa dibeli dengan sekeranjang ubi jalar, ia hanya bisa ditukar dengan uang. Jika seseorang enggan membayar karna tak punya uang, maka kosekuensinya ia tidak bisa mempertemukan ide di kertas tadi dengan ide-ide di kepalanya sendiri. Semakin sedikitlah ide baru yang lahir.

Rezim Guttenberg berhasil penuh dalam dua hal ; Ia membentuk kasta-kasta dan kelas-kelas ide. Ide menjadi berkasta dan berkelas-kelas, ada yang dianggap luar biasa lainnya dianggap kurang ajar, lainnya tidak lebih dari sampah. Hal ini terjadi karena monopoli hak menyebrangkan ide oleh sistem bentukan rezim tersebut. Kedua, Rezim Guttenberg berhasil mempengaruhi pikiran kita sehingga turut mengamini pengkotakan dan pemberlakuan kelas-kelas bagi ide-ide. Hasilnya, pertemuan ide-ide jadi kurang fariatif. Ide-ide baru pun berkurang angka kelahirannya. Sebabnya adalah orang-orang enggan membaca ide yang tidak muncul dari kertas-kertas resmi milik rezim Guttenberg.  Ada satu kata kunci yang menghubungkan kedua kesuksesan ini, m o n o p o l i. Rezim Guttenberg memonopoli hak menilai ide dan hak menuangkan ide ke kertas.

Namun, bagaimanapun, aku hidup di zaman ini. Zaman ketika rezim Guttenberg masih jaya. Apakah aku harus mengobarkan revolusi ide-ide rendahan melawan atau bahkan menumbangkan rezim Guttenberg? Ah, aku rasa tidak perlu. Revolusi adalah saudara kembar utopia, dan revolusioner adalah kata lain dari pungguk perindu bulan. Meski begitu, ide tentang revolusi ide-ide kasta rendah  melawan hegemoni ide-ide bangsawan yang telah membentuk dinasti-dinasti angkuh mungkin memang bisa terwujud.  Kelak ia akan mewujud jika masyarakat pasca-ruang (virtual society) telah purna terbentuk. Ketika itu, semua ide kembali punya hak yang sama untuk mengakses media-media guna bertemu ide-ide lain di pikiran pembacanya. Lalu kejayaan pra-Guttenberg bisa kembali terulang.

Hacihh, tadi saya nulis apa ya??? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar