Selasa, 25 Februari 2014

Pahlawan Devisa yang “Diperkosa".


Oleh : Yazfi Alam Al-haq (cak Yasfi)
          Incunabula Institute.

Nuun, wal qolami wa maa yasthurun.

Hari pahlawan ini, aku habiskan tiduran diatas kasur. Walau aku tau di kampus sedang diadakan “pesta” besar-besaran milad ormasku, tapi entah kenapa hal itu tidak masuk agenda dalam kehidupanku hari ini. Tapi hari pahlawan memang sempat mengusik, namun tak liar. Karna buat ku, tidak satupun pahlawan berharap menjadi pahlawan, mereka hanya berusaha melakukan yang terbaik untuk bangsanya, dengan segala kesadaran, kemampuan serta yang mereka miliki. Dan bukan gelar "Pahlawan" yang mereka ingin kan, namun keberlajutan perjuangan yang diteruskan dalam estafet perjuangan oleh generasi setelahnya. Buatku untuk itulah pahlawan. Selesai,

Namun hari ini, sesaat setelah membaca novel sederhana namun tebal judulnya pun provokatif, Negeri tanpa perawan serta menghabiskan setengah malam terkhir dengan melakukan hal penting yaitu update status facebook, diiringi raungan suaru parau dan gak jelas dari marjinal. Sampai sebuah lagu parau terlantun, judulnya Buruh Migran. Akhirnya tergelitik hati saya untuk mengungkapkan sesuatu. Dan entah mengapa otak saya terasa mudah untuk mengatakan semua itu melalui jari. Hahahhaa.  

Saya akan memasukkan teks lagunya kedalam tulisan buruk saya ini. Mungkin jadi bertele namun bukankah ini tulisan saya, sehingga biarlah ini mengalir apa adanya seperti kata yang terus mengaliri hati dan otak saya,

Ada kisah jualan manusia
Yang dilakukan dibanyak negara
Buruh migranlah disebutnya
Siang malam mereka bekerja
Banting tulang dinegri sebrang sana
Tempat mereka menggantung nyawa
Tuk menghidupi keluarganya
Mereka pasrah korbankan jiwa
Mereka tak putus asa
Mereka tak kenal lelah
Yang penting hidup keluarganya terus hidup
Buruh migran TKW! Buruh migran TKW!
Dipukul, ditendang, disiksa, diperkosa… majikannya! Buruh migran!
Mereka yang bekerja disana
Tak sedikit yang teraniaya
Bahkan pulang hanya tinggal nama
Mereka bisa berbuat apa?
Tinggal di negri anta beranta
Tak ada pula sanak sudara
Tak ada kepastian nasibnya
Keadilanlah yang diharapkannya

seperti itulah kiranya. kalau mau dengar lagunya mungkin tinggal cari saja mp3 nya di google. Buruh Migrant dari Marjinal.

Kita sebut saja buruh migran ah tapi lebih mudah kita sebut saja BM. Biar seksi, biar cepet ditulisnya, karna terkadang rasa dan otak saling berkejaran tentag kata, dan tangan tak cukup cepat untuk merekam semua, apalagi kegalauan sepeti ini. Sperti surat cinta untuk yang tercinta,

Beberapa saat lalu seorang sahabat bercerita, ketika saya bersilaturahmi ke tempat beliau (karna memang usianya jauh diatas saya). Beliau ternyata mendapat kesempatan “jalan-jalan” ke negeri tetangga, sebut saja malaysia nama sebenarnya. Beliau disana jalan-jalan sambil ditemani sahabatnya yang kebetulan seorang doktor lulusan serbuah kampus di U.K yang juga staf pengajar di UM, selesai disini saja perkenalannya ya,,

Beliau bercerita bahwa disana itu keren, listrik dan air di tanggung oleh negara, pendidikan murah terjangkau. Meski harga makanan itu mahal tapi kebutuhan dasar manusia bisa terpenuhi. Bahkan pemerintah malaysia memberi jaminan pendidikan bagi penduduknya, serta “menjamin” pekerjaan bagi setiap lulusan di negaranya (saya kasih petik, karna gak berani memastikan, namun secara mayoritas ini memang terjadi).

Berbeda dengan di negeri ini, disana setiap sarjana pribumi mendapat pekerjaan yang bisa dikatakan layak, dimana pekerjaan paling rendah yang mereka dapatkan merupakan pekerjaan bersih, kenapa saya sebut begitu sebab pekerjaan mereka tidak langsung bersentuhan dengan proses produksi. Nah dalam konsepsi buruh marxian yang saya fahami ialah dimana lapisan tertentu masyarakat yang bersentuhan langsung dengan alat dan proses produksi. Nah pekerjaan ini ialah perkerjaan yang penting yang menjadi sokoguruh pembangunan negara. Nah kemudian pekerjaan-pekerjaan yang bukan merupakan penopang utama sebuah negara disebut “bullshit working”  yaitu dimana andai pekerjaan itu dihapuskan sekalipun, negara tidak akan serta merta runtuh.

Jadi pekerjaan yang mereka dapatkan hanya berkisar wilayah-wilayah pelayanan, bukan wilayah produksi apalagi menjadi buruh manufaktur yang harus banyak bekerja kasar, nah itulah hebatnya mereka, memberi jaminan sosial kehidupan yang baik, meski beberapa saat terakhir mulai terjadi pergeseran kearah yang lebih liberal walau ini baru bisa dibuktikan melalui tol yang dikenakan biaya, meskipun murah.

Nah bukan hal-hal diatas yang pingin saya tulis dan ceritakan, tapi ada beberapa hal yang pingin saya tanyakan, yaitu tentang siapa buruh disana dan bagaimana terjadi, kemudian hubungan buruh dan kondisi indonesia?

Kondisi buruh malaysia.

Nah, ketika pertanyaan ini mucul, siapa buruh manfaktur di malaysia. Yang bekerja di wilayah kasar dengan gaji yang pastinya rendah itu. Jawaban yang cukup menarik saya dapatkan dari beliau, ternyata buruh manufaktur dengan gaji rendah itu merupakan pekerja migran dari beberapa wilayah disekitar malaysia seperti bangladesh dan tentunya indonesia.

Pekerja migran indonesia menjadi favorit untuk direkrut sebagai buruh disebabkan antara lain kedekatan kultur budaya serta kemudahan berkomunikasi disebabkan akar budaya yang sama yaitu melayu. Sehingga proses adaptasi dari para buruh indonesia lebih cepat dibanding buruh migran yang lain karna memang mereka masih membutuh kan kursus bahasa, selain itu konon yang saya dengar bahwa ternyata buruh indonesia cenderung lebih tekun, ulet serta tidak banyak tuntutan sehingga merekrut buruh indonesia merupakan jalan efisiensi yang baik dari segi ekonomi dan waktu. tentu buruh ilegal bisa semakin menekan biaya produksi dan semakin efisien dalam logika efisiensi adam smith.

Memang pertimbangan situasi politik di indonesia yang demokratis liberalis ini sempat menjadikan malaysia agak ketar ketir. serta fenomena reformasi '98 yang menyebabkan buruh pabrik sabun indonesia melakukan demo menuntut kenaikan upah kepada sebuah pabrik sabun dimalaysia cukup membuat malaysia belajar sehingga membuat peraturan yang lebih ketat serta keamanan yang ketat terhadap buruh. Namun hal ini ternyata tidak menyurutkan minat untuk tetap merekrut migran dari indonesia dengan alasan tentu saja efisiensi.

Tentu hal ini menguntungkan bagi kedua pihak negara, yaitu negara "host" yang disini berati malaisya dan "home"  yaitu indonesia. Dimana hal ini menjadi menguntungkan, bagi negara host dengan merekrut buruh migrant tentu negara tersebut mampu meminimalisir biaya produksi serta menurangi aliran bentuk perjuangan buruh. Dimana yang saya fahami ada dua bentuk dominan perjuangan buruh yaitu perjuangan ekonomi dengan cara menuntut kenaikan upah atau yang paling radikal merebut alat produksi serta melalui jalur politik yaitu mendirikan partai politik atau revolusi untuk merubah sistem pemerintahan yang lebih mengakomodir kepentingan buruh.

Dengan merekrut buruh migran, maka secara langsung bentuk perjuangan buruh migran telah tereliminir dan hanya menjadi perjuangan ekonomi semata. Hal ini disebabkan karna tidak memungkinkan buruh berjuang melalui jalan politik sebab buruh migran tidak memliki legitimasi politik apapun didalam negara host. Sehingga hal ini mengurangi “resiko” negara host terhadap bentuk-bentuk perjuangan buruh. Dan ini diperkuat dengan kondisi dimana penduduk pribumi malaysia tidak ada yang bekerja sebagai kaum buruh, melainkan hanya berkutat pada bentuk kerja kaum menengah yang cenderung sebagaibullshit worker.

Lain dari pada itu, buruh migran ialah buruh yang merupakan surplus worker dari negara-negara sekitar malaysia. Dimana surplus worker yang saya fahami disini ialah orang dalam usia produktif yang tidak terserap lapangan kerja dinegara asalnya karna kurangnya kesempatan kerja. Sehingga surplus worker memilih pergi dari negara untuk mengadu nasib di negara orang. Dan dengan adanya buruh migran ini tentu membawa dampak positif juga kepada negara home dari buruh migrant tadi.

Bagi negara home khususnya indonesia, buruh migrant entah itu tki atau tkw dijuluki sebagai “pahlawan devisa” dimana keberadaan mereka menguntungkan negara home terkait peningkatan GDP . Ya memang seandainya kita menghitung dengan paradigma itu, tentu adanya tki/w di malaysia memang sangat menguntungkan bagi indonesia, namun harus difahami dalam kondisi ini, secara kekuatan diplomatik indonesia sedang dalam kondisi yang lemah. Hal ini disebabkan kondisi dimana banyaknya surplus worker yang bekerja di malaysia serta kegagalan pemerintah untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang proporsional bagi warga negaranya sendiri, sehingga ketika terjadi “pelanggaran” terhadap perjanjian dan terhadap buruh migrant maka negara home tidak memiliki cukup kekuatan untuk melakukan tindakan politik kongkrit sebab ketergantungan ekonomi terhadap negara host. Dan apabila ini terjadi bagaimana dengan nasib buruh kita disana? Waallahu alam bishawab, biarkan saja waktu yang menjawab.

Hubungan buruh migrant indonesia dengan kondisi negara kita.

Setelah kita menanyakan tentang bagaimana nasib buruh kita disana dan yakin bahwa hanya waktu yang bisa menjawab. Ini bukan hal yang pesimistis, sebab memang dalam realita hal ini terjadi. Jaminan kerja buruh migran kita yang buruk serta lemahnyadiplomacy power negara kita dihadapan mereka serta ketidak mampuan kita menciptakan lapangan kerja bagi surplus worker membuat kita hanya bisa berdiri dibawah kaki tetangga muda kita yaitu malaysia yang bisa semena-mena dan kapan saja “melanggar” apa saja yang sudah disepakati atau yang sudah dijanjikan.

Memang tidak dapat dipungkiri surplus worker serta lapangan kerja menjadi fenomena yang tidak dapat dipisahkan dari negara berkembang. Namun ada beberapa hal yang dapat kita analisa mengapa indonesia hanya mampu menyediakan buruh kasar dan juga pekerja-pekerja diwilayah-wilayah non formal.

Dinovel negeri tanpa perawan, penulis berusaha menggambarkan sebuah fenomena disebuah daerah di jawa barat dimana didesa penulis “kehabisan” perawan disebabkan fenomena migran worker ini. Dia menceritakan, dimana kondisi kemiskinan, pendidikan rendah serta sempitnya peluang pekerjaan didaerah menyebabkan profesi migran worker cukup menggiurkan. Hal ini tentu bukan hanya masalah ketersediaan lapangan kerja dinegeri orang, melainkan juga selisih nilai tukar mata uang antara rupiah dan ringgit. Dan lagi ketika anak gadis pergi merantau ke negeri orang maka hal itu akan menjadi kebanggan bagi keluarganya, bahkan kadang segala cara dilakukan agar anak gadisnya mau dan bisa di kirim sebagai migrant worker meski itu harus melakukan manipulasi2 tertentu.

Inilah memang kondisi negeri kita, negeri berkembang yang kaya raya namun tetap “menjaga” rakyatnya tetap miskin serta dengan giat menjual sumber dayanya kepada negara asing melalui proses investasi. Agar mendapatkan suplemen dana instan yang dikelola secara serampangan dan tidak sistematis sehingga investasi yang terjadi bukan menjadi jalan keluar dari keterpurukan bangsa, malah semakin menenggelamkan negara ini dalam kubangan kemiskinan dan ketidakmampuan untuk bersaing dengan negara internasional.

Pahlawan yang diperkosa.

Dengan kondisi negara yang seperti ini dimana negara dengan bangga menganugerahi para buruh migrant kita sebagai “pahlawan devisa”. Mereka melupakan beberapa hal yang memang sudah menjadi tugas negara, walau kadang hal ini merupakan keniscayaan dalam kondisi globalisasi seperti hari ini, namun setidaknya hal-hal tersebut dapat diminimalisir. Pemerkosaan yang dilakukan negara kita terhadap para migrant worker kita yaitu.
  1. Melakukan pembiaran migrant worker dalam kondisi pendidikan yang rendah sehingga dapat di upah murah oleh perusahaan di negeri host.
  2. Tidak melakukan pendidikan, penyadaran serta pendampingan terhadap migran worker terkait hasil kerja mereka. Sebab menurut marx, kaum proletar memiliki kecenderungan akan bersikap seperti kaum borjuis dalam wilayah konsumsi. Dan ini benar-benar terjadi dikantung-kantung wilayah penghasil migrant worker. Meningkatnya nilai konsumsi yang belum tentu dibarengi dengan pembanngunan sumber daya manusia serta pembangunan ekonomi mandiri.
  3. Mencuci tangan terkait kebutuhan kerja dalam negeri dan mengupayakan untuk meningkatkan jumlah migrant worker.
  4. Tidak dapat memberikan jaminan hukum terhadap migrant worker. Bukan disebabkan pemerintah tidak memiliki MoU atau semacamnya. Namun karna lemahnya posisi tawar indonesia dihadapan negara host sehingga apabila ada hal yang tidak diinginkan terjadi terhadap migrant worker, negara hanya mampu mengecam tanpa sanggup memberi aksi kongkrit terhadap negara host.
  5. Mis-menejemen yang dilakukan pemerintah sehingga kondisi ekonomi indonesia dibawah malaysia yang dibuktikan dengan kontradiksi nilai tukar rupiah dan ringgit sehingga menjadikan migrant worker sebagai profesi yang menggiurkan dengan kondisi yang telah saya paparkan diatas.
Akhir kata.

Bukan maksud mencecar atau mencaci. Namun berusaha menganalisa kondisi apa yang terjadi dan bagaimana yang terjadi. Hal ini tidak saya lakukan sebagai “rutinitas” kaum intelektual semata. Melainkan karna kegelian saya terkait kondisi bangsa dan saya harap mampu memberi sebuah angin bagi kaum intelektual yang lebih mumpuni untuk merumuskan solusi yang jitu bagi negeri kita yang tercinta ini.

Berkenaan denga hal tersebut, dalam berbagai literatur yang sudah saya baca, saya berusaha mengusulkan beberapa solusi. Mungkin terdengar naif atau terlalu klise. Namun setidaknya ini bukti saya memang mencintai negeri saya ini dengan cara saya sendiri, beberapa solusi yang saya ajukan yaitu.
  1. Penguatan sumberdaya manusia didaerah melalui sekolah-sekolah rakyat yang didirikan ditiap-tiap rw atau dukuh. Atau mungkin juga dengan pelatihan skill yang kontinyu dan sistemik. Sehingga meningkatkan kualitas SDM di daerah dan sebagai batu awal berdirinya ekonomi kerakyatan. (kalau PAUD aja bisa didirikan kenapa sekolah rakyat gak bisa.)
  2. Perubahan paradigma pendidikan dari paradigma kerja menuju paradigma karya. Dari paradigma penilaian menuju paradigma pemahaman dan penyadaran. Dari paradigma keseragaman menuju paradigma pembebasan serta kemandirian dan kemerdekaan.
  3. Mendirikan koperasi-koperasi produksi rakyat yang didasarkan pada hirarki struktur masyarakat terendah dan sesuai dengan local wisdom dan skill yang dimiliki masyarakat tersebut. sehingga mampu menjadi soko guruh perekonomian indonesia.
  4. Mendukung dan menyokong berdirinya industri-industri rakyat dengan bentuk bantuan ekonomi, undang-undang yang memihak terhadap industri dalam negeri serta dukungan moril dan materiil lainnya.
  5. Memperbaiki menejemen pemerintahan sehingga negara mampu bersaing secara ekonomi dengan negara-negara lain khususnya asean dan negara internasional keseluruhan secara umum. Sehingga meningkatkan posisi tawar indonesia dimana internasional.
  6. Melakukan pengawasan yang efektif terhadap institusi negara untuk meminimalisir penyalahgunaan wewenang dan juga sumberdaya serta mengevaluasi kinerja pemerintah serta arah kebijakannya secara kontinyu sehingga rakyat juga berperan aktif secara politik membangun negara.
Mungkin hanya sekian yang bisa saya sampaikan dalam curhat saya hari ini. Saya sangat berharap respon serta masukan terhadap hal ini. Karna hal ini merupakan kegelian saya terkait kondisi bangsa saya, dan saya juga sangat berharap dari coretan ini bisa menjadi inspirasi, refleksi serta cermin bagi kawan-kawan yang lain untuk bisa saling memikirkan kondisi bangsa namun jangan dijadikan referensi untuk tulisan ilmiah, karna ini hanya ke-galauan saya yang memang tidak saya sertakan referensi-referensi.

Kami menulis bukan hanya untuk berkarya, kami menulis untuk membangun bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar